CHURCH AS A REDEMPTIVE COMMUNITY
Irwan Hidajat
Gereja
dan Identitasnya
“Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada
hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala
kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang
menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai
dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan
sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti
di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira
dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan
tiap-tiap hari, Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.” (Kis 2:41-47)
Setiap kali kita
berbicara mengenai hakikat dari keberadaan gereja, maka tidak mungkin kita
melewatkan nas yang amat penting yang dicatat oleh Lukas di dalam kitab Kisah
Para Rasul, yang menjelaskan tentang eksistensi gereja mula-mula. Perikop yang mencatat tentang cara
hidup gereja mula-mula itu,
diawali dengan sebuah keterangan penting: “Orang-orang itu … memberi diri mereka dibaptis.” Siapakah mereka ini sebenarnya? Jika
kita menelusuri baik-baik kisahnya, kita segera mengetahui bahwa mereka adalah
orang-orang Yahudi yang saat itu berdiam di Yerusalem (2:5), yang sedang
mendengarkan khotbah Petrus yang berisi penjelasan mengenai apa yang terjadi
atas murid-murid di hari Pentakosta dan juga kebenaran mengenai Yesus, yang
adalah Tuhan dan Kristus, yang telah
mereka salibkan. Keterangan ini
menjelaskan tentang latar belakang identitas dari gereja mula-mula, yakni bahwa mereka
sesungguhnya adalah orang-orang yang mata hatinya telah dibutakan, sehingga tidak mampu
melihat kebenaran, dan karenanya mereka
menyalibkan Yesus, Tuhan dan Juruselamat.
Catatan berikutnya yang
ditulis oleh Lukas di ayat 37-41
memperlihatkan adanya suatu
perubahan yang sangat radikal yang terjadi dan dialami oleh orang-orang ini.
Setelah mendengar khotbah dan penjelasan Petrus, mereka bukan saja menjadi
terharu dan bertanya tentang apa yang harus mereka lakukan, namun suatu
langkah besar terjadi: mereka memberi diri dibaptis. Dari semua keterangan ini, kita menemukan jawaban
pertama atas pertanyaan “siapakah gereja”
itu sebenarnya? Mereka yang menyalibkan Yesus, kini menjadi percaya
dan bahkan memberi diri
dibaptis. Keterangan ini sejalan dengan makna yang terkandung di dalam istilah
Yunani έκκλησια (baca: ekklesia, lit: calling
out). Istilah ini selalu menjadi rujukan untuk memahami makna tentang
keberadaan gereja, yakni bahwa gereja secara naturnya merupakan orang-orang
dengan hidup masa lalu yang gelap, namun telah dipanggil keluar dari kegelapan
hidup, dan mengalami penebusan yang
memampukan mereka untuk melihat terang anugerah Allah (bdk. 1Ptr. 2:9). Jadi, “siapakah
gereja” itu sebenarnya? Gereja
adalah orang-orang yang telah ditebus (reedemed) oleh Allah. Jika demikian, komunitas gereja
dipahami sebagai komunitas orang yang telah mengalami karya penebusan yang
telah dikerjakan oleh Allah (Redeemed
Community).
Hal kedua yang
kita amati dari catatan Lukas di dalam kitab ini, memberikan kepada kita suatu
gambaran mengenai sisi lain tentang identitas gereja. Gereja mula-mula nampak
sebagai gereja yang sangat antusias dalam memperhatikan kondisi dan kebutuhan
orang lain dan secara proaktif berupaya untuk melakukan sesuatu bagi orang
lain: “... dan selalu ada dari mereka
yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai
dengan keperluan masing-masing” (2:45), “... mereka sehati dan sejiwa, dan tidak
seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya
sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (4:32). Bukan saja mengenai semangat atau gairah di dalam melayani orang lain,
namun di balik itu semua, ada suatu kesadaran tentang siapa diri mereka (identitas) yang dibuktikan dari apa yang harus mereka lakukan dalam jati
diri semacam itu. Mereka ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah
mengalami penebusan yang dikerjakan oleh Allah, yang tidak boleh berhenti dan
berpuas diri dalam kondisi itu, melainkan selalu sadar bahwa Allah juga
mengutus mereka untuk menjadi agen penebusan (redemptive agent) yang membebaskan bagi dunia. Di sini nampak sisi lain dari identitas gereja. “Siapakah gereja” itu?
Gereja adalah orang-orang yang diutus Allah untuk menjadi agen penebusan bagi
dunia (bdk. 1Pet. 2:9) Komunitas gereja dipahami sebagai komunitas
yang diutus Allah untuk mewujudnyatakan karya penebusan Allah bagi dunia (Redemptive Community).
Gereja sebagai Redemptive Community
Apa yang dijelaskan Lukas
tentang gereja mula-mula, diawali dengan sebuah keterangan mengenai
“orang-orang.” Hal ini
menjelaskan natur dari gereja yang paling mendasar, di mana gereja dipahami bukan secara fisik
(bangunan, gedungnya) ataupun organisasinya. Gereja pada dasarnya merupakan organisme
yakni: komunitas orang percaya.
Apakah yang kita pahami dengan komunitas
itu? Hermawan Kartajaya pernah menuliskan suatu definisi yang cukup baik
tentang hal itu. Menurutnya komunitas adalah sekelompok orang yang saling
peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, di mana di dalamnya terjadi
relasi pribadi yang erat antar para anggota karena adanya kesamaan interest atau values.[1]
Berdasarkan pengertian itu, rupanya karakteristik “relasi yang erat” (deep interpersonal relationship) dan “saling
peduli” (care) secara mendasar
merupakan natur alamiah yang harus dimiliki oleh sebuah gereja sebagai suatu
komunitas. Sehingga, bukan hanya karena pengenaan label “Redemptive Community” pada gereja yang membuat gereja memiliki
kepedulian terhadap sesama, tetapi sesungguhnya sebagai sebuah komunitas,
gereja memang memiliki karakteristik menebus
(redemptive).
Church as a Redemptive Community is a
beautiful picture of community where the broken find wholeness, the sick find
healing, the lonely find a sense of belonging, the poor find empowerment and
the lost find salvation.[2]
Namun dalam
kenyataannya, realitas keberadaan gereja tidaklah secara otomatis membuktikan
kebenaran itu. Scott Hanberry dalam tulisannya berpendapat, “Most
church planters would emphatically affirm the need for building community, yet
in their quest to build a congregation or to draw a crowd, they often neglect Biblical
community.”[3] Cukup memprihatinkan di masa kini adalah fokus
para pemimpin gereja bukan lagi membangun komunitas yang menebus, tetapi lebih
kepada membangun sebuah jemaat dengan menarik dan mengumpulkan sebanyak mungkin
orang untuk datang, berkumpul dan “berkerumun” di dalamnya, tanpa
kesadaran diri bahwa mereka adalah komunitas, tanpa adanya relasi yang erat dan
hangat, tanpa adanya kepedulian yang ditunjukkan satu terhadap yang lain. Jika
demikian maka di satu sisi ukuran gereja secara kuantitatif dianggap sebagai
suatu keberhasilan yang membanggakan, namun di sisi lain, kualitas isinya
dipertanyakan.
Komunitas
orang percaya yang seperti apa yang semestinya menjadi kenyataan dari
keberadaan gereja? Gereja diutus untuk hadir di tengah-tengah dunia, dunia
yang berada dalam dosa yang sudah mencemarinya dan juga mengikat dan membelenggunya. Ada banyak
fakta kehidupan manusia yang tinggal dan hidup di dalam dunia semacam ini:
ketakutan, rasa bersalah, kesedihan, kesakitan, penderitaan, rusaknya hubungan
dan yang terutama hancurnya persekutuan dengan Tuhan.
Dalam dunia dengan realitas seperti itulah, gereja
sebagai komunitas orang percaya diutus dan ditempatkan Tuhan untuk mengerjakan
karya layanannya dengan setia, yakni untuk membawa kelepasan: untuk menebus! Ini berarti, di mana komunitas orang
percaya hadir, di situlah seharusnya orang lain akan menjumpai
dan mengalami penerimaan, pengampunan, penghiburan,
kesembuhan, kelepasan dan pemulihan. Dengan demikian komunitas orang percaya di dalam gereja
sungguh-sungguh menghadirkan “hidup dalam segala kepenuhannya” (Yoh.
10:10b) – sebagaimana yang dikatakan Tuhan Yesus – baik kepada bagian dari
komunitas, maupun bagi dunia.
Kehidupan sebagai Karakteristik Utama Gereja
It is life and death that define Christ’s Church and His people. It is
the possession of life that distinguishes a Christian from all other men.[4]
Lawrence Richards
dalam bukunya yang berjudul Christian
Education, membuka pembahasannya dengan mengatakan bahwa kehidupan-lah yang membedakan orang
percaya (believer) dengan orang yang
belum percaya (unbeliever). Richards menekankan bahwa gereja adalah
komunitas orang percaya yang telah menerima kasih karunia Allah, yaitu hidup yang kekal. Itulah anugerah
terbesar yang dapat gereja nikmati dan syukuri dari Allah. Namun, sesungguhnya kehidupan jugalah yang merupakan berkat
terbesar yang dapat gereja bagikan kepada dunia.
Tujuan pemikiran ini jelas, sebagaimana
Tuhan Yesus yang adalah Hidup itu sendiri mengatakan, “... supaya kamu
memilikinya (hidup-red) dalam segala kelimpahannya” (Yoh. 10:10b). Kristus sang Hidup itu datang
ke dalam dunia, di dalam misi dan pelayanan-Nya, untuk memberi kehidupan.
Jika kita menelaah dengan
cermat apa saja yang sudah Ia kerjakan di dalam karya penebusan-Nya (redemptive
work), maka kita dapat melihat apa yang Yesus lakukan dalam 2 (dua)
dimensi: dimensi firman dan dimensi perbuatan. Kedua hal ini
nampak jelas dalam ayat di Matius yang menyebutkan, “Demikianlah Yesus
berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga
serta melenyapkan segala penyakit dan
kelemahan.” (Mat 9:35). Ini berarti misi Yesus untuk membawa kehidupan bagi dunia yang sudah mati dan
dikuasai oleh dosa ini, dinyatakan melalui kedua dimensi/bentuk tadi, yaitu
firman dan perbuatan (Berita Injil yang membebaskan dan Pelayanan Kasih yang
memulihkan).
Rupanya pola yang
dilakukan oleh Yesus ini justru dengan nyata dipraktikkan oleh gereja
mula-mula, yang bukan hanya sekedar melakukan banyak perbuatan baik dalam
bentuk perbuatan kasih yang membuat “mereka disukai banyak orang” tetapi juga pemberitaan Injil yang pada
akhirnya membuat “... jumlah mereka terus ditambahkan tiap-tiap hari dengan
orang yang diselamatkan.” Fakta ini membawa suatu implikasi teologis dan
praktis bagi keberadaan dan pelayanan yang gereja bisa lakukan di tengah dunia
pada masa kini, yaitu bahwa gereja tetap diutus dan ditempatkan Tuhan untuk
menghadirkan “kehidupan yang penuh” bagi dunia, dengan tetap setia pada tugas
pemberitaan Injil dan bentuk-bentuk pelayanan yang menjawab kebutuhan otentik
masa kini.
Komunitas Kaum Muda sebagai Gereja Masa
Kini
Sebagai gereja masa kini, komunitas
kaum muda Kristen, secara naturnya merupakan Redeemed Community,
yang juga turut dipanggil untuk
menjadi Redemptive Community, terlibat di dalam karya “penebusan” bagi dunia. Ada suatu
“pekerjaan rumah” yang sangat besar bagi komunitas kaum muda Kristen untuk
mengerjakan karya “penebusan” di zaman ini. Apalagi bila kita melihat kenyataan
bahwa kaum muda Kristen hidup di tengah-tengah situasi dan kondisi orang-orang
muda pada zaman ini dengan fenomena seperti: jerat pornografi, masalah
seksualitas, isu-isu tentang pacaran dan pernikahan, belenggu narkoba, ikatan
dengan kuasa gelap, sepak terjang dalam perintisan karier dan masa depan, dan
juga relasi yang buruk baik dengan diri sendiri, keluarga, maupun teman-teman,
dll.
Seharusnya hal-hal tersebut menjadi concern
serius yang harus disadari dan dilihat oleh komunitas kaum muda Kristen sebagai bagian
dari panggilan Allah bagi mereka dan juga kesempatan untuk menebus sesamanya
dan dunianya. Terlebih lagi
pergumulan-pergumulan semacam ini bukan hanya dialami oleh orang-orang muda di
luar komunitas Kristen (mereka yang belum percaya), namun ternyata juga menjadi
bagian persoalan yang dihadapi oleh anggota-anggota komunitas Kristen itu
sendiri. Oleh karena itu, komunitas kaum muda Kristen ditugaskan dan dipanggil
untuk menebus teman-teman muda yang
lain, baik sesama anggota komunitas maupun orang-orang di luar komunitas, yang
selama ini terbelenggu dalam kehidupan yang tidak mampu mereka lepaskan.
Namun apa yang
terjadi selama ini? Rupanya individualisme telah menyusup masuk ke dalam
kelompok Kristen dan menjadikan
kelompok tersebut semata-mata hanya menjadi
sebuah kerumunan yang datang dan
berkumpul di dalam gereja.
Karena hal tersebut, kelompok Kristen tanpa pernah menjadi komunitas dalam arti yang sesungguhnya,
yakni manakala sebagai anggota komunitas kaum muda, kita tidak melakukan apapun
untuk menebus sesama yang berada di
dalam belenggu pergumulan hidupnya. Bahkan yang seringkali terjadi adalah:
alih-alih menebus dan membebaskan mereka, kita lebih suka mengacuhkannya,
mempergunjingkannya dan bahkan menghakiminya dengan semua perangkat hukum yang
kita miliki di dalam standar nilai kekristenan kita. Itulah sebabnya, Rick Warren di dalam bukunya
yang sangat fenomenal yang berjudul The
Purpose Driven Life mengatakan,
“Fakta yang menyedihkan adalah bahwa seringkali domba-domba Kristus terluka bukan oleh serigala, melainkan oleh
sesama domba.”[5]
Selama ini mungkin
kita sangat bangga dengan
ukuran jumlah anggota kelompok kaum muda di gereja/lembaga yang kita layani. Tetapi sadarkah
kita, bila pembiaran semacam itu masih terjadi
dan kita tidak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya, maka kelompok
kaum muda yang kita layani tidak ubahnya
hanya menjadi sebuah kerumunan yang
berkumpul di gereja. Ini berarti, entah kita sadari atau
tidak, sesungguhnya selama ini kelompok kaum muda tersebut tidak pernah menjadi sebuah komunitas yang menyembuhkan (healing),
memulihkan (reconciling), mengubahkan (transforming) dan
membebaskan (redeeming). Sejalan
dengan pemahaman itu, Murray Robertson menegaskan, “Satu kritik tajam
tentang keberadaan gereja pada zaman ini adalah bahwa gereja biasanya ingat
bahwa dirinya harus membawa dan memberitakan kabar pembebasan (message of
redemption) bagi dunia yang berdosa, namun jarang sekali menjadikan dirinya
dan berperan sebagai agen pembebas (agent of redemption) bagi
dunia.”[6]
Karakteristik Redemptive Community
Komunitas Zoweh
menyebutkan
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
membangun komunitas untuk dapat menjadi Redemptive
Community:[7]
1.
Persekutuan harus
dibangun dalam keakraban, secara otentik dan transparan.
Keakraban yang dimaksud bukan kedekatan di permukaan,
apalagi kepura-puraan, melainkan suatu persekutuan yang akrab, yang sejati,
yang asli, di mana setiap orang dapat tampil menjadi dirinya secara transparan,
apa adanya. Dengan demikian, di antara anggota komunitas itu terbuka kesempatan
untuk saling menajamkan, mengoreksi dan bertumbuh bersama ke arah yang lebih
baik.
2.
Upayakan kemuliaan
seseorang (pemulihan yang membebaskan) dan jangan terpaku pada dosa atau
kesalahannya.
Inilah karakteristik Redemptive
Community yang paling mendasar, yakni bahwa upaya kita untuk menebus seseorang lebih difokuskan pada
bagaimana cara untuk membawa orang itu mengalami pemulihan yang membebaskannya,
dan bukan pada mencari kesalahan dan
kemudian menghakiminya
3.
Komunitas tidak dapat
menggantikan tempat Allah dan apa yang hanya bisa disediakan oleh-Nya.
Satu hal utama yang perlu disadari oleh seluruh komponen
dari komunitas, yakni bahwa sesempurna atau se-ideal apapun komunitas yang ada,
tidak pernah boleh dan tidak pernah mampu untuk menggantikan
tempat dan peranan Allah untuk memulihkan hidup seseorang.
4.
Komunitas secara
individu dan kolektif membutuhkan keintiman dengan Allah.
Sebagai konsekuensi logis dari
prinsip di atas, maka kesanggupan
komunitas untuk menebus seseorang,
terletak pada sejauh seluruh komunitas secara personal dan komunal membangun
relasi yang dekat dengan Allah (Yoh. 15:5b)
5.
Ukuran komunitas
yang relatif kecil (terbatas).
Secara proporsional, semakin kecil ukuran sebuah
komunitas, akan membawa dampak positif dalam membangun persekutuan yang efektif
di dalamnya.
6.
Komunitas yang
di dalamnya setiap
orang dapat menjalani kehidupan bersama-sama (berdoa, bermain, makan, beribadah, berbagi, dll).
Komunitas dibangun supaya tiap orang di dalamnya dapat
menjalani hidup bersama. Setiap orang tetap melakukan aktivitas dan pekerjaan
masing-masing, tetapi dalam semuanya itu, mereka memiliki kesadaran bahwa ada saudara-saudara yang berjalan
bersama-sama mereka, yang ada dan tersedia untuk mereka, yang siap membantu dan
mengangkat mereka bila jatuh, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih baik.
7.
Membangun komunitas tidak mungkin bisa dicapai dalam satu hari, satu waktu
atau pada satu tempat
tertentu saja (membutuhkan proses dan berbagai konteks pengalaman kehidupan).
Sebagai tindak lanjut dari prinsip di atas, maka untuk
membangun komunitas semacam ini tidak mungkin dilakukan dalam sekejap. Butuh
proses seiring dengan berjalannya waktu, agar komunitas ini semakin lama
semakin solid, dan juga butuh banyak
pengalaman yang menjadi konteks pembentukan komunitas dan setiap orang di
dalamnya.
8.
Setiap orang
sebagai bagian dari komunitas penting untuk berkontribusi dan berperan.
Dalam sebuah
komunitas, setiap orang berperan penting dan memiliki tanggung jawab untuk
berkontribusi bagi sesama anggota lain dan bagi komunitas secara keseluruhan.
Hal ini senada dengan apa yang menjadi prinsip Paulus dalam 1 Korintus 12, di mana Paulus memakai metafora tubuh dengan
anggota-anggotanya.
9.
Setiap orang
memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk dapat menawarkan dan membagikan
apa yang ia miliki.
Bukan hanya soal tanggung jawab, namun tiap anggota
memiliki hak (kesempatan) untuk berkontribusi dan berperan bagi anggota yang
lain dan bagi komunitas secara menyeluruh.
10.
Sebuah tempat yang
aman dan dapat dipercaya, di mana kebutuhan hati dan jiwa yang paling mendasar dapat disentuh/dijamah.
Pada akhirnya komunitas yang menjadi Redemptive Community akan menjadi seperti sumber mata air, di mana
tiap orang yang sedang mengalami dahaga dalam pengembaraan hidup dan pergumulan
yang dihadapinya, dapat menemukan kelegaan dan kesegaran kembali untuk
melanjutkan perjalanan hidupnya ke depan.
Potensi Kaum Muda
Memang tidak mudah untuk
membangun komunitas yang memiliki karakteristik demikian. Namun kaum muda
sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk mewujudkan komunitas
semacam itu, beberapa di
antaranya ialah:[8]
- Idealisme dan Daya Kritis
Orang-orang muda
memiliki idealisme yang cukup tinggi. Umumnya kaum muda tidak akan merasa puas
untuk menerima sesuatu begitu saja sebagaimana adanya. Idealisme menggerakkan
mereka untuk dengan kritis melihat situasi dan kondisi yang ada pada saat ini,
dan berjuang untuk meraih apa yang mereka impikan. Jika visi Redemptive Community dan dampak yang
bisa ditimbulkannya, dibukakan kepada kaum muda, maka hal tersebut akan menjadi
suatu kekuatan yang menggerakkan mereka untuk membangun dan mengembangkan
komunitas yang ada pada saat ini untuk menjadi komunitas yang berdampak.
- Dinamis, Kreatif dan Bersemangat
Orang-orang muda
penuh dengan dinamika. Mereka tidak pernah akan tinggal diam. Mereka sangat
bersemangat dan dengan kreatif bekerja menghasilkan karya-karya yang luar
biasa. Redemptive Community bukan
sekedar impian. Jika kaum muda dibimbing, dimotivasi dan digerakkan untuk
mewujudkannya, mereka pasti bisa memperjuangkannya agar menjadi kenyataan dalam
komunitas mereka
- Kemandirian dan Keberanian Mengambil Resiko
Masa muda adalah
periode awal seseorang memasuki masa dewasa. Hal itu berarti kaum muda memiliki
kemandirian di dalam diri mereka. Kemandirian untuk mengambil keputusan, untuk
melakukan sesuatu demi memperjuangkan apa yang dicita-citakannya. Dalam
kemandirian itu ada sebuah keberanian untuk mengambil resiko, untuk keluar dari zona
nyaman mereka, masuk dan menyelami pergumulan orang lain serta melakukan sesuatu
untuk kebaikannya. Kemampuan, kesediaan dan kelenturan ini mutlak dibutuhkan
oleh agen-agen pembebas (Redemptive Agent)
dalam upaya untuk membebaskan
sesamanya.
- Terdidik dan Menguasai Ilmu dan Teknologi
Kaum muda adalah
orang-orang yang melek ilmu dan
teknologi. Kemampuan ini tentunya memiliki sumbangsih yang sangat besar dalam
upaya membangun komunitas yang solid dan membawa dampak bagi banyak orang.
- Keragaman
Hanya orang yang
berpikiran sempit yang melihat keberagamaan sebagai sebuah ancaman. Keberagaman
kini dipandang sebagai sebuah kekayaan dan potensi. Demikian juga dengan
komunitas kaum muda dengan segala keberagamannya (latar belakang pendidikan,
keahlian, keterampilan, bakat, talenta, karunia, minat, kepribadian,
pengalaman, dll), semua ini
memainkan peranan yang sangat penting dalam membangun komunitas yang saling
mengisi untuk kebaikan bersama.
Yang menjadi
masalah sekarang adalah: Sejauh mana potensi
ini digali dan diberdayakan untuk menciptakan komunitas kaum muda di gereja
atau lembaga kita agar menjadi komunitas
yang menebus?
Pengaruh yang Dapat Diberikan
Dengan segala
potensi yang ada, seberapa besarkah pengaruh yang dapat diberikan oleh
komunitas kaum muda Kristen manakala mereka memainkan peran mereka dan
membangun komunitas mereka menjadi Redemptive
Community? Jika kita melihat catatan tentang gereja mula-mula, di sana
disebutkan bahwa “pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu
jiwa” dan “tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang-orang yang
diselamatkan.” Apa kira-kira yang ada di dalam benak dan pikiran anggota gereja
mula-mula, ketika dalam satu hari ada tiga ribu orang percaya baru yang
ditambahkan ke dalam komunitas mereka dan masih terus bertambah tiap harinya?
Tentu saja mereka gembira dan takjub,
tetapi di
sisi yang lain, memang itulah buahnya!
Bagi komunitas kaum muda, dampaknya
sangat jelas. Bila komunitas itu memainkan peranannya sebagai komunitas yang
menebus, yang menjadi berkat dan membawa sebuah transformasi positif di dalam
hidup orang lain, maka tidak dapat dielakkan lagi, tentu banyak orang-orang
muda yang tertarik untuk menjadi bagian dari komunitas itu. Transformasi tersebut bukan hanya
menyangkut soal perubahan secara kuantitatif semata. Itu hanya efek dan akibat,
yang terlihat secara sepintas. Dampak yang jauh lebih penting adalah bahwa
komunitas kaum muda di gereja atau lembaga kita telah belajar dan mengalami
secara riil hidup sebagai komunitas secara nyata. Dengan demikian, eksistensi komunitas kaum muda kita
benar-benar menjadi berkat dan disukai (bukan hanya “ada” dan
“banyak”) dan menorehkan transformasi yang berdampak besar dalam hidup seseorang.
And sadly many
churches, although faithfully seeking to preach the gospel, experience an
annual decline in attendances with a steadily aging congregation.[9]
Dampaknya juga
bisa dirasakan oleh gereja di
mana komunitas kaum muda berada,
karena tidak mustahil komunitas kaum muda akan menjadi pelopor dan penggerak dari suatu
perubahan dan kebangunan di dalam sebuah gereja lokal. Bahkan komunitas kaum muda menjadi sebuah komunitas yang menular (Contagious
Community) bagi gereja, sehingga pada akhirnya gereja juga dapat
menjalankan perannya sebagai Redemptive
Community.
Epilog: Sebuah Refleksi
Yang menjadi refleksi
bagi kita adalah: Apa fokus kita?
·
Apakah kita akan menjadikan
ukuran kehadiran kaum muda dalam aktivitas-aktivitas yang diselenggarakan,
sebagai satu-satunya barometer utama untuk mengukur keberhasilan pelayanan kaum
muda di gereja? Atau sebaliknya, fokus pada kualitas yang ditawarkan oleh
komunitas kaum muda di gereja, di mana pada akhirnya, ukuran kuantitas akan
menjadi konsekuensi logis yang mengikutinya?
·
Bagaimana dengan ibadah
(format dan gaya), khotbah-khotbah yang disampaikan, pemanfaatan media-media
sosial: apakah semuanya itu ditujukan semata-mata demi “menjaring” lebih
banyak orang untuk datang dan bergabung ke dalam komunitas kaum muda di gereja
kita, sehingga anggota jemaat menjadi lebih banyak? Atau justru ibadah-ibadah
dan pemberitaan Firman Tuhan, ditujukan untuk memberikan pengajaran yang benar
agar kaum muda semakin mengerti panggilan
Tuhan untuk “menebus” yang “terbelenggu”? Juga fasilitas media sosial
benar dioptimalkan bukan hanya semata untuk “mendongkrak” jumlah kehadiran,
tetapi demi efektivitas tugas penjangkauan?
·
Jay Haug dalam The Church as a redemptive Community[10]
menyinggung soal keKristenan di Amerika
yang dianggap terlalu individualistis. Jargon yang didengungkan adalah “Jesus, My Bible and Me” yang memperlihatkan
individualistik orang Kristen yang terbukti nyata bahwa keKristenan tidak membawa dampak yang
signifikan dalam hidup masyarakat. Satu tantangan bagi komunitas kaum muda sebagai komunitas yang menebus adalah bersediakah untuk belajar fokus pada kondisi dan kebutuhan orang lain?
Hal ini menjadi sebuah
insight yang baik bagi kurikulum pembimbingan dan pembinaan bagi kaum
muda, untuk melatih dan memberdayakan mereka sebagai agent of redemption yang
dengan peka melihat dan memperhatikan kebutuhan orang
lain, serta berupaya untuk
memenuhinya berdasarkan firman dan kasih Kristus.
·
Sebagaimana karya penebusan (redemptive
work) Kristus memiliki 2 dimensi yang saling terkait erat dan menjadi
sebuah kesatuan yang utuh:
§ Memberitakan Injil
Kerajaan Sorga demi kelepasan mereka yang
dibelenggu dosa.
§ Melayani,
memperhatikan dan memenuhi kebutuhan spesifik setiap orang dalam kasih (yang
sakit, lapar, buta, terpinggirkan, dibebani rasa bersalah, dll).
Maka Redemptive
Youth
Community juga dipanggil untuk
menjalankan misi penebusan secara utuh:
§ Kaum muda
dipanggil untuk tetap memiliki hati untuk memberitakan Injil kepada generasinya.
§ Kaum muda
dipanggil untuk melayani, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan sesamanya
sebagai bentuk menghadirkan “hidup dalam segala kepenuhannya.”
Sebagai penutup, marilah kita mengingat
bahwa kaum muda bukan sekedar gereja masa mendatang, tapi juga gereja masa
kini. Mereka adalah orang-orang yang dipanggil, ditebus dan dikhususkan oleh
Tuhan untuk menjadi umat atau komunitas Allah. Sebagai komunitas yang telah
ditebus di dalam Kristus, komunitas kaum muda seharusnya memiliki cara hidup
dan berkomunitas sebagaimana layaknya sebagai orang-orang yang telah ditebus.
Komunitas ini juga harusnya menjadi tempat di mana anggota-anggota baru
mengalami penebusan Kristus lewat kehidupan berkomunitas yang menyembuhkan,
memulihkan, membangun, menguatkan, dan memuliakan Tuhan.
2.
Murray Robertson, “The Church As Redemptive Community”, http://www.leadernet.org.nz/files/docs/the%20church%20as%20redemptive%20community.pdf (diakses 24 Mei 2014).
3.
Scott Hanberry, “Redemptive Community,” http://one8.org/2012/01/redemptive-community-pt-1/ (diakses 24 Mei 2014).
6.
Murray Robertson, “The Church As Redemptive Community”, http://www.leadernet.org.nz/files/docs/the%20church%20as%20redemptive%20community.pdf (diakses 24 Mei 2014)
8.
Andre, “Masalah dan Potensi Generasi Muda”, http://generasimudabangsa.blogspot.com/2011/03/masalah-dan-potensi-generasi-muda.html (diakses 24
Mei 2014)
9.
Murray Robertson, “The Church As Redemptive Community”, http://www.leadernet.org.nz/files/docs/the%20church%20as%20redemptive%20community.pdf (diakses 24 Mei 2014).
10. Jay Haug, “The Church as a Redemptive Community,” http://www.virtueonline.org/church-redemptive-community (diakses 24
Mei 2014).
Untuk Info dan Pemesanan: http://psppkmsttaa.blogspot.com/p/contact-us.html
JUDUL ARTIKEL DALAM JURNAL "REDEMPTIVE YOUTH COMMUNITY" (VOL.2 NO.2):
1. STUDI ETNOGRAFI KOMISI REMAJA-PEMUDA DI GEREJA INJILI - TIONGHOA DI JAKARTA-Astri Sinaga
2. CHURCH AS A REDEMPTIVE COMMUNITY-Irwan Hidajat
3. DEVELOPING REDEMPTIVE PREACHING FOR YOUTH COMMUNITY-Casthelia Kartika
4. BUILDING REDEMPTIVE YOUTH COMMUNITY-Ang Wie Hay
5. REDEMPTIVE YOUTH COMMUNITY FOR THE CAPTIVES-Yohanes Puja Piris
6. IBADAH KAUM MUDA ANTARA NILAI DAN BENTUK-Linna Gunawan
Untuk Info dan Pemesanan: http://psppkmsttaa.blogspot.com/p/contact-us.html
0 komentar:
Posting Komentar