"Menjadi Pusat Belajar dan Pengembangan Pelayanan Kaum Muda di Indonesia" Melakukan penelitian dan kajian pelayanan kaum muda dengan basis teologi dan menyediakan sumber belajar bagi pengembangan pelayanan kaum muda.

Selasa, 20 Februari 2018

Simposium Pelayanan Kaum Muda VI



Simposium Pelayanan Kaum Muda VI

“Transformational Youth Ministry”


Banyak ditemui bahwa pelayanan kaum muda digerakkan oleh “big event”.  Big event disini seperti retreat, kebaktian Kebangunan Rohani, atau bahkan ibadah minggu itu sendiri. Di dalam “big event” semakin banyak pengunjung yang datang, maka acara itu dianggap berhasil. Tapi sesungguhnya kaum muda membutuhkan sesuatu yang lebih dalam, dan lebih bermakna.  Permasalahan dan tantang kaum muda jauh lebih kompleks dan pelik baik di dalam dirinya dan juga konteks hidupnya. Mereka membutuhkan lebih dari sekedar peristiwa besar dan keramaian, tapi adanya ruang atau kesempatan untuk mereka belajar menemukan makna, dan mengalami transformasi. 

Gereja yang kecil dengan jumlah kaum muda hanya 20 atau 30 sering dianggap tidak berhasil dan tidak dapat berbuat apa-apa. Padahal mereka memiliki kesempatan yang cukup besar untuk menciptakan moment yang membawa perubahan, tanpa harus menggunakan “big event” dan keramaian. Pelayanan kaum muda dapat menjadi pelayanan yang mengubahkan bila youth pastor mengerti aspek-aspek yang perlu dikembangkan sehingga terjadi transformasi dalam kehidupan kaum mudanya. Seperti apakah pelayanan kaum muda yang transformatif?

Untuk Informasi dan Pendaftaran http://sttaa.ac.id/spkm_2018 



Konsep Religious Affections Jonathan Edward dalam konteks Pelayanan Pastoral Kaum Muda Gereja Injili



Konsep Religious Affections Jonathan Edward
dalam konteks Pelayanan Pastoral Kaum Muda Gereja Injili
Jonathan Prasetia


Pendahuluan
Salah satu bidang pelayanan yang sedang marak dibicarakan oleh gereja-gereja hari ini adalah berkenaan dengan pelayanan kaum muda. Mark DeVries, seorang youth pastor, berkata, We are sending our kids into adulthood ill prepared for the increasing demands od our complex society.[1] Individu yang menginjak usia remaja-pemuda sedang mengalami pencarian akan identitas diri dan mempertanyakan Tuhan, sehingga mereka mengalami gejolak emosional, kognitif, dan spiritual.[2] Oleh sebab itu, apabila ibadah terasa kering, mereka akan cepat merasa bosan dan mencari gereja lain, di mana kebutuhan pengalaman akan Tuhan dapat dipenuhi. Dengan demikian pelayanan pastoral kaum muda sangat membutuhkan konsep kerohanian yang sesuai dengan gejolak jiwanya. Ketika kaum muda tidak mendapatkan kerohanian yang tepat sasaran dan pengalaman rohani yang nyata, maka kemungkinan besar mereka akan meninggalkan gereja.
Sebenarnya ada banyak warisan spiritualitas dari bapa-bapa gereja, namun tidak semuanya tepat sasaran bagi pendekatan pastoral kaum muda. Jonathan Edwards merupakan seorang gembala, pengkhotbah, teolog terbesar sepanjang sejarah yang memiliki fokus dengan pengalaman religius. Konsep Religious Affections yang tercetus dari lubuk hatinya merupakan salah satu konsep pengalaman religius yang alkitabiah. Berdasarkan teologinya, Edwards yang beraliran Calvinis, dikenal karena menyatukan semangat penginjilan dan keingintahuan intelektual dalam tulisan-tulisannya.[3] Selain itu, afeksinya dalam berkhotbah selalu meninggikan Allah dan tidak pernah berhenti memuji Allah.[4] Dalam diri Edwards, dapat dilihat keseluruhan pribadi, baik hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan yang diserahkan kepada Allah.[5] Ini membuktikan konsep spiritualitas Jonathan Edwards yang mewujudkan keseimbangan dan alkitabiah, layak untuk menjawab pergumulan pelayanan pastoral kaum muda di gereja masa kini.
Artikel ini memperkenalkan salah satu konsep spiritualitas Jonathan Edwards, serta salah satu pergumulan pelayanan pastoral kaum muda di gereja-gereja injili, dan kemudian mencoba menjawab pergumulan pelayanan tersebut dengan konsep tersebut serta diakhiri dengan tantangan bagi gereja-gereja injili ketika menghadapi pelayanan pastoral kaum muda.................





[1]. Mark DeVries, Family Based Youth Ministry (Illinois: Intervarsity Press, 2004), 35.
[2]. Charles M. Shelton, Spiritualitas Kaum Muda (Jakarta: Kanisius, 1987), 66.
[3]. Wilfred J. Samuel, Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecenderungan Pasca Kharismatik (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 15.
[4]. John Piper, Supremasi Allah dalam Khotbah (Surabaya: Momentum, 2008), 80.
[5]. Stephen J. Nicholls, Jonathan Edwards: Penuntun ke dalam Kehidupan dan Pemikirannya (Surabaya: Momentum, 2009), 6. 

Selasa, 03 Oktober 2017

Bonhoeffer sebagai Pelayan Kaum Muda





Kata Pengantar


  
Sebuah buku selalu ditulis bagi seseorang. Biasanya buku-buku terbaik ditulis bagi para penulis sendiri. Khususnya buku-buku teologi, saya percaya, perlu dituliskan bagi penulis oleh penulis. Pembaca diberkati dengan berpartisipasi melalui pelayanan seorang teolog yang cukup berani untuk menuliskan pergumulan imannya bersama Allah. Teks-teks teologis klasik dalam tradisi Kristen seperti buku Athanasius On the Incarnation, buku Agustinus Confessions, buku Luther Freedom of the Christian, dan bahkan buku Barth Epistle to the Romans kelihatannya dituliskan pertama-tama, dan terutama, bagi penulisnya.
Buku yang Saudara pegang ini tidak menjanjikan dampak sebagaimana diberikan buku-buku di atas. Tetapi buku ini pertama-tama, dan terutama, ditulis bagi saya. Buku ini lahir dari sukacita besar. Buku ini memungkinkan saya menggoreskan sesuatu yang saya lihat di dalam hidup Bonhoeffer yang belum dituliskan secara langsung oleh para pemikir lain tentang Bonhoeffer. Di dalam proyek ini saya mengabdikan waktu dan konsentrasi untuk menyelami sejarah Bonhoeffer, sebuah kisah yang telah memesona saya selama hampir dua dekade. Buku ini juga mengizinkan saya untuk memperlihatkan sesuatu mengenai hidup Bonhoeffer yang saya harapkan dapat memberkati banyak hamba TUHAN yang bergumul hari-demi-hari bersama dan bagi kaum muda.
Maka benar bahwa buku adalah bagi penulis, tetapi juga harus diluncurkan ke dunia untuk menjadi buku bagi orang-orang lain juga. Buku ini pertama-tama adalah bagi para pelayan kaum muda, hamba TUHAN kaum muda. Sebuah buku yang mengeksplorasi bagaimana Dietrich Bonhoefer – teolog besar abad kedua puluh yang menghidupi imannya sampai mati – adalah seorang pelayan kaum muda. Sesungguhnya, buku ini memperlihatkan bahwa tidak ada masa di antara tahun 1925 dan 1939 (pusat kehidupan Bonhoeffer) di mana dia tidak terlibat dalam suatu pelayanan anak atau pelayanan kaum muda. Saya sungguh berharap bahwa buku ini menjadi hadiah bagi para pelayan kaum muda, menunjukkan bahwa panggilan mereka berada di atas bahu Bonhoeffer yang lebar. Dalam halaman-halaman buku ini mereka tidak hanya melihat pelayanan kaum muda Bonhoeffer, tetapi saya berharap mereka juga akan terinspirasi ketika saya mencoba menyarikan dampak pemikiran Bonhoeffer bagi pelayanan mereka hari ini.
Walaupun buku ini pertama-tama adalah bagi para pelayan kaum muda, tetapi buku ini juga untuk para sarjana yang mendalami Bonhoeffer. Sementara kepada para pelayan kaum muda saya menawarkan dorongan semangat dengan mengungkapkan Bonhoeffer sebagai salah seorang pendahulu mereka, kepada para sarjana yang mendalami Bonhoeffer saya berharap dapat mengungkapkan hal yang selama ini belum terungkap dalam tulisan-tulisan tentang Bonhoeffer. Belum ada penelitian mendalam tentang pelayanan kaum muda Dietrich Bonhoeffer, dan seringkali percakapan mengenai hal ini disampaikan dalam rangka mengangkat hal lainnya. Sebagai contoh, diskusi mengenai kepemimpinannya di sekolah Minggu di Harlem tidak membuahkan percakapan tentang mengapa pemuda ini selalu memilih pelayanan kaum muda dibandingkan bentuk pelayanan lainnya. Saya menawarkan buku ini sebagai sebuah studi tentang keutamaan pelayanan kaum muda di dalam pelayanan Bonhoeffer.
Ketika buku bergerak dari bagi penulis menjadi bagi orang lain, biasanya ada pengantara, atau bahkan bidan, yang membantu terjadi pergerakan ini, mengecek kesehatan proyek ini untuk memastikannya cocok bagi dunia. Berkaitan dengan proyek ini, saya diberkati dengan orang-orang demikian. Dirk Lange, kolega saya di Luther Seminary, telah berbaik hati memberikan waktu sabatikalnya untuk membaca proyek ini. Dan Adams, seorang hamba TUHAN Amerika yang melayani di Afrika Selatan, juga menyisihkan waktu penulisan tesis tentang Bonhoeffer untuk membaca proyek ini. Saya diberkati selama perjalanan tujuh tahun terakhir bertemu dengan demikian banyak pelayan Injil yang setia di seluruh dunia. Dan adalah salah satu dari orang-orang seperti ini. Wawasan Dan sebagai seorang pelayan kaum muda dan sarjana yang mendalami Bonhoeffer sangatlah kaya. Saya juga ingin berterima kasih kepada Bob Hosack di Baker, yang mempunyai visi bagi buku ini. Robert Hand di Baker juga menyediakan bantuan signifikan dengan menjadikan proyek ini lebih mudah dibaca. Terima kasih kepada Erik Leafblad untuk kerja kerasnya mempersiapkan index. Tetapi akhirnya, terima kasih terbesar saya ditujukan kepada Kara Root, yang selalu menjadi pembaca  pertama dari apa pun yang saya tulis dan memberikan wawasan mengenai argumen, gaya, dan arah. Saya pertama kali belajar Bonhoeffer di seminari bersama Kara, maka wajar apabila di seluruh buku ini, jejak dan sidik jarinya ada di mana-mana.




Daftar Isi

  


Kata Pengantar          ix

1.      Pelayanan Kaum Muda dan Bonhoeffer: Menemukan Seorang Bapak Leluhur          1

Bagian 1. Sejarah Dietrich Bonhoeffer, sang Pelayan Kaum Muda
2.      Dietrich Bonhoeffer, sang Pelayan Kaum Muda          13
3.      Asal Usul sang Pelayan Kaum Muda          25
4.      Retaknya Keindahan: Kematian Walter dan Masa Remaja Dietrich Bonhoeffer          41
5.      Dari Seorang Pemuda Menjadi Pelayan Kaum Muda: Yang Teologis dalam Sanctorum Communio          51
6.      Air Mata bagi Tuan Wolf: Barcelona dan Sesudahnya          73
7.      Anak sebagai Makhluk Eskatologis: Kembali ke Berlin dan Melanjutkan ke New York          87
8.      Kembali ke Berlin – Lagi          105
9.      Mereka Membunuh Guru Mereka yang Sebelumnya! Kelas Sidi di Wedding          117
10.    Generasi Muda dan sang Führer: Memasuki Politik          133
11.    “Delapan Tesis mengenai Pelayanan Kaum Muda”: Dalam Pengasingan London          139
12.    Finkenwalde: Dari Pelayanan Kaum Muda menuju Komunitas yang Intensional          161
13.    Kembali kepada Pelayanan Kaum Muda          171
14.    Menuju sebuah Takdir: Dari Pelayan Kaum Muda Menjadi Mata-Mata          181

Bagian 2. Sebuah Panduan bagi Pelayan Kaum Muda untuk Discipleship dan Life Together
15.     Pelayanan Kaum Muda dan Discipleship          201
16.     Pelayan Kaum Muda dan Life Together          225

Index          245


Minggu, 04 Juni 2017

Liturgi Gerejawi dalam Dunia Post-modern




 Liturgi Gerejawi dalam Dunia Post-modern
Chandra Julianto


Pendahuluan
Memasuki zaman post-modern, gereja memasuki tantangan yang baru. Perdebatan antara adaptasi liturgi kepada zaman yang baru atau tetap bertahan kepada liturgi yang lama menjadi salah satu isu utama. Perdebatan seperti ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Tegangan antara mempertahankan tradisi liturgi dengan pembaharuan mengikuti perkembangan zaman selalu terjadi setiap kali gereja memasuki zaman yang baru.
Tinjauan Abraham Kuyper tentang usaha pembaharuan liturgi di gereja Belanda bisa menjadi contoh yang baik. Dalam bukunya “Our Worship” yang ditulis tahun 1911, Kuyper menulis tentang keengganan gereja Reformed Belanda menerima genre musik himne yang dianggap tidak sekudus atau sekhidmat genre musik mazmur.[1] Menurut Kuyper, sebenarnya perbedaan dari kedua genre musik ini tidak begitu berarti. Keduanya menggunakan alat musik yang sama, aransemen musik yang sama, dinyanyikan dengan cara yang sama. Satu-satunya perbedaan yang berarti adalah genre musik mazmur mengambil liriknya dari ayat-ayat Alkitab secara langsung, terutama dari kitab Mazmur, sementara genre musik himne menggunakan lirik-lirik yang lebih temporal dan bicara tentang pergumulan iman dalam kehidupan sehari-hari.[2]  
Pada masa sekarang, perdebatan ini sudah tidak terlihat lagi sebab genre musik himne sudah dianggap bagian dari liturgi. Namun di zaman Kuyper, perdebatan mengenai himne dan mazmur begitu hangat sampai-sampai gereja reformed di Belanda melihat penggunaan genre musik selain mazmur bukan hanya bertentangan dengan tradisi gereja namun juga bertentangan dengan prinsip Alkitab.[3]
Perdebatan-perdebatan ini muncul karena sebuah keyakinan bahwa gereja dan unsur-unsur liturgi di dalamnya harus terus bertahan kepada prinsip alkitabiah, yang sayangnya sering kali salah diterjemahkan sebagai kondisi statis di mana perubahan tidak diizinkan. Tetapi apakah ibadah yang alkitabiah berarti ibadah tidak boleh berubah sama sekali?

Gereja: Produk Teologis, Budaya, dan Zaman
Tidak ada yang meragukan bahwa gereja harus teologis, berdasar kepada Alkitab dalam segala aspeknya. Namun keyakinan ini bukan berarti bahwa gereja harus bertahan kepada tradisi yang sama tanpa mempertimbangkan fakta bahwa kita tidak lagi hidup di konteks 2000 tahun lalu. Dan lagi, pemikiran bahwa untuk mempertahankan kemurnian gereja maka gereja tidak boleh beradaptasi dengan konteks budaya dan zaman kontemporer bukan hanya keliru namun justru bertentangan dengan sejarah gereja.
Tidak ada liturgi yang kita jalani sekarang benar-benar murni diambil dari Alkitab secara langsung tanpa ada perubahan. Liturgi yang dianggap sebagai “tradisional” di zaman ini dianggap sangat kontemporer dalam zamannya.[4] Ambil saja penggunaan organ sebagai instrumen musik gerejawi sebagai contoh. Pada zaman ini, organ adalah alat musik minimal yang harus dimiliki dalam ibadah. Namun menurut Crouch, pada permulaan penggunaannya, alat musik organ hanya diterima oleh satu golongan gereja, yaitu aliran Calvinis di Swiss, yang terpaksa menggunakannya karena jemaat di Swiss kala itu begitu tidak terlatih dalam bernyanyi sehingga dibutuhkan alat musik yang bisa menunjukkan nada yang tepat.[5] Jadi, dapat kita katakan bahwa penyesuaian unsur-unsur liturgi sesuai dengan konteks kontemporer sudah terjadi di sepanjang sejarah gereja.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa jemaat gereja adalah anak budaya dan zaman. Memaksa jemaat untuk datang ke gereja dan mengikuti model liturgi “tua” adalah seperti memaksa mereka untuk keluar dari dunia mereka dan memasuki dunia lain yang sama sekali tidak mereka mengerti. Inilah sebabnya mengapa gereja-gereja yang terjebak dalam paradigma modern mulai mengalami kemunduran di zaman post-modern.
Leonard Sweet mencatat bahwa dalam jangka waktu 1 tahun (1997-1998), gereja-gereja aliran utama di Amerika mengalami penurunan jumlah jemaat sebanyak 10-15%, yang menyebabkan, untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika Serikat, ada lebih banyak orang yang menghadiri ibadah di gereja non aliran utama daripada gereja aliran utama. Penyebab penurunan ini terutama karena liturgi yang dianggap sudah tidak lagi relevan bagi jemaat.[6] Scheer menyatakan hal yang serupa, gereja-gereja dengan liturgi yang cocok dengan semangat zaman post-modern, seperti aliran Pentakosta yang menonjolkan pujian penyembahan yang emosional, dan aliran ortodoksi yang menekankan pengalaman transenden dan misterius, mengalami peningkatan dalam kehadiran anak muda yang cukup signifikan.[7]
Gereja harus membuka mata terhadap perubahan budaya dan zaman dan melihatnya sebagai kesempatan untuk menjadikan ibadah relevan bagi jemaat. Partisipasi dan keterlibatan kepada kultur dan zaman kontemporer adalah cara untuk menjadikan penyembahan otentik. Riddell, Pierson, dan Kirkpatrick menekankan bahwa penyembahan baru bisa menjadi relevan ketika inti penyembahan diizinkan untuk terkoneksi kepada realita kehidupan si penyembah.[8] Redman menulis, “dalam level tertentu penyembahan Kristiani harus memiliki gambaran, suara, dan rasa dari kultur lokal agar penyembahan bisa menjadi otentik dalam kultur yang bersangkutan.”[9] Menurut Abraham Kuyper, penyembahan dalam kehidupan sehari-hari dan penyembahan dalam ibadah adalah seperti dua sisi dari satu mata uang: yang satu tercermin kepada yang lain. Apa yang diajarkan dan didapatkan di dalam liturgi gereja harus bisa diaplikasikan ke dalam penyembahan kehidupan; sebaliknya, liturgi gerejawi haruslah menjadi sebuah ibadah yang dekat kepada kehidupan sehari-hari: bicara tentang kehidupan nyata, membahas kasus iman yang nyata, dan menekankan tindakan iman serta teladan Kristus di dalam perbuatan sehari-hari.[10]
Jadi, ibadah tidak boleh menjadi sesuatu yang “di luar dunia” atau sesuatu “di luar kehidupan,” di mana seseorang yang masuk ke dalam gereja diajak untuk membahas hal-hal yang tidak terkait dengan kehidupannya. Itulah alasan mengapa gereja Katolik Roma melalui konsili Vatikan II, menghimbau agar musik dan liturgi dibangun dengan cara yang mampu mendorong partisipasi yang penuh dan aktif dari jemaat lokal.[11]
Salah satu alasan lain mengapa adaptasi gereja sesuai zaman kontemporer penting untuk dipertimbangkan adalah masalah generasi penerus. Masa depan gereja ada di tangan kaum muda dan remaja. oleh karena itu, kita harus mulai memberikan porsi yang cukup bagi mereka untuk membentuk liturgi yang relevan dan untuk menentukan arah gereja ke depan. Dalam bukunya The Great Worship Awakening? Singing a New Song in the Postmodern Church”, Redman menekankan bahayanya gereja yang tidak beradaptasi sesuai budaya dan zaman generasi penerus. Pada tahun 1960, pasca perang dunia kedua, gereja-gereja di Amerika Serikat mengalami masa kejayaan. Alasan utama dari pertumbuhan ini adalah karena gereja-gereja di masa itu secara khusus membangun liturgi mereka dalam konteks yang sesuai, yaitu pasca perang dunia kedua: keputusasaan karena melihat begitu banyak kehancuran dan kematian serta pergumulan untuk membangun dan menata kembali kehidupan mereka. Namun pada akhir 1960, gereja-gereja ini mulai mengalami penurunan kehadiran jemaat, dan pada akhir 1970 kebanyakan gereja ini mengalami kemunduran yang signifikan. Hal ini disebabkan karena generasi muda, yang lahir tanpa pernah melihat perang dunia kedua, tidak merasa bahwa liturgi yang ada relevan bagi mereka. Mereka adalah generasi yang positif dan optimistis, jejak perang ada di belakang mereka dan masa depan yang terbuka lebar ada di depan mereka. Mereka tidak lagi ada di tempat yang bergumul untuk mendapatkan harapan, mereka sudah memiliki harapan itu. Hal yang dibutuhkan adalah pesan optimisme bukan pesan penghiburan. Lama kelamaan, menurut Redman, generasi yang baru ini akhirnya tidak bisa menjadi jemaat yang berkomitmen, yang pada gilirannya, tidak bisa menerima tongkat estafet dari generasi yang lebih tua.[12]
Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa gereja adalah produk teologis, budaya, dan zaman. Memang teologi adalah intinya, namun ini bukan berarti bahwa gereja bisa mengabaikan aspek budaya dan zaman. Pembaharuan liturgi sesuai budaya dan zaman kontemporer adalah kebutuhan mendesak yang harus menjadi perhatian utama gereja di setiap zaman. Mengingat zaman kontemporer saat ini adalah zaman post-modern, maka adaptasi yang harus gereja hadapi sekarang adalah adaptasi kepada zaman ini.

Liturgi Pujian Penyembahan yang Post-Modern
Menurut Scheer ada 5 perbedaan antara zaman modern dan zaman post-modern yang berkaitan secara langsung kepada liturgi:[13]
Zaman Modern
Zaman Post-modern
Aspek intelektual
Aspek pengalaman
Hidup individualis
Hidup berkomunitas
Observasi
Partisipasi
Tulisan
Gambar
Logika
Cerita

Hal yang serupa juga disampaikan oleh Robert E. Webber. Dalam survei yang dia lakukan di tahun 1999 kepada 176 jemaat gereja injili berusia 20-an dari 41 denominasi yang tersebar di 14 negara, dia menemukan bahwa:
·         Hasrat terdalam dan terbesar dari seorang jemaat di umur 20-an adalah untuk mengalami perjumpaan yang otentik dengan Tuhan (88%).
·         Kerinduan untuk berjumpa dengan Tuhan ini memang dilihat sebagai pengalaman individual, namun pengalaman ini diharapkan terjadi di dalam konteks komunitas, sehingga bukan hanya dia yang merasakan perjumpaan yang otentik, melainkan seluruh komunitas (88%).
·         Ada harapan yang besar bahwa sebuah liturgi pujian penyembahan bisa menyentuh sesuatu yang dalam dan hakiki (87%).
·         Keinginan untuk mendengar khotbah yang menantang (69%) dan lebih banyak menggunakan penafsiran yang mendalam akan Kitab Suci (49%).
·         Penyembahan diharapkan lebih partisipatif. Penyembahan bukanlah sebuah konser yang disuguhkan kepada jemaat yang hanya menjadi penonton. Jemaatlah pemainnya, Tuhanlah penontonnya (73%).
·         Jemaat menginginkan penggunaan media visual yang lebih kreatif (51%).
·         Penyembahan akan berfokus kepada transendensi Tuhan (45%), sekalipun kerinduan untuk berjumpa dengan Tuhan yang dekat juga sangat tinggi (88%).[14]
Perbedaan ini menunjukkan bahwa generasi yang kita layani sekarang memiliki pendekatan yang berbeda terhadap spiritualitas, dan dengan demikian, harus dilayani dengan liturgi yang berbeda. Generasi post-modern merindukan pengalaman yang melampaui aspek kognitif dan mampu menggerakkan emosi mereka. Mereka menyukai lagu yang memaparkan cerita perjalanan kehidupan mereka dan Tuhan. Mereka menginginkan sebuah liturgi yang mengizinkan mereka bisa berdiri berdekatan dan bernyanyi bersama sebagai sebuah unit. Mereka mengekspektasikan penggunaan teknologi media untuk menampilkan gambar-gambar visual yang mampu menggugah imajinasi mereka akan Tuhan secara kreatif.
Menurut Kenda Creasy Dean dalam ulasannya “Moshing for Jesus – Adolescence as a Cultural Context for Worship”, remaja-remaja pergi ke gereja untuk merasakan pergerakan emosi, untuk merasakan bahwa mereka diubahkan, untuk merasakan Tuhan, untuk merasakan sesuatu.[15] Mereka mau mendengar Firman Tuhan secara objektif, tetapi mereka juga butuh merasakan yang objektif itu secara subjektif. Mereka perlu menjadikan yang objektif itu sebagai milik mereka sendiri, sebagai pengalaman mereka pribadi.
Jika demikian halnya, maka semangat post-modern sebenarnya dekat dengan esensi penyembahan yang tradisional, sebab orang-orang di zaman post-modern justru merindukan hubungan yang langsung dengan Allah sebagaimana kisah para tokoh Alkitab yang mampu bicara tentang Allah dari pengalaman yang sangat personal.[16] Crouch menyatakan bahwa perbedaan yang signifikan antara penyembahan kontemporer dan tradisional bukanlah dalam hal esensinya, melainkan dalam hal-hal eksternal seperti aransemen dan instrumen musik yang digunakan serta tampilan luar dari liturgi.[17] Jadi, adaptasi liturgi ke dalam konteks post-modern sebenarnya adalah perubahan hal-hal eksternal yang dilakukan justru untuk menambah yang internal. Adaptasi ini dilakukan bukan untuk mengaburkan esensi penyembahan melainkan untuk memperkuatnya.
Dalam hal aplikasi perubahan liturgi ke dalam zaman post-modern, prinsip yang diajukan oleh Leonard Sweet serta Riddell, Pierson, dan Kirkpatrick sangat membantu kita. Sweet mengajukan 4 prinsip yang olehnya disingkat ke dalam akronim EPIC:
1.      Experiental (pengalaman);
2.      Participatory (partisipatif);
3.      Image-Driven (menonjolkan gambaran visual);
4.      Communal (komunal).[18]
Sementara itu, Riddell, Pierson, dan Kirkpatrick mengusulkan 8 prinsip:
1.      Partisipasi;
2.      Didasarkan kepada komunitas;
3.      Relevan secara kultural;
4.      Tidak ada primadona;
5.      Menyentuh keseluruhan eksistensi si penyembah (tubuh, pikiran, jiwa, dan roh);
6.      Bersedia menggunakan beragam ide, materi, dan bentuk dari berbagai sumber;
7.      Penggunaan multimedia;
8.      Terus bertumbuh dan beradaptasi.[19]
Prinsip-prinsip aplikasi yang ditawarkan oleh Sweet dan Riddell, Pierson, dan Kirkpatrick sebenarnya menekankan hal yang sama:
1.      Liturgi di zaman post-modern diharapkan menggunakan lagu, aransemen musik, manipulasi suasana (dengan pencahayaan dan penataan ruang ibadah), dan gaya kepemimpinan pemimpin pujian yang lebih berfokus kepada pengalaman si penyembah dan respon emosi daripada pengaruh secara intelektual.
2.      Partisipasi dan keterlibatan aktif dari seluruh jemaat sangat ditekankan dalam liturgi yang post-modern. Setiap jemaat, bukan hanya pemimpin pujian atau pemain musik harus diberikan ruang untuk ikut berpartisipasi dalam ekspresi mereka masing-masing.
3.      Teknologi adalah bagian besar dari zaman post-modern. Oleh sebab itu, liturgi yang post-modern juga diharapkan untuk menggunakan teknologi yang maju dan modern.
4.      Zaman post-modern membawa semangat perubahan yang cepat. Tidak ada satu ide atau konsep yang baku dalam zaman post-modern karena perkembangan informasi menjadikan tren yang ada juga terus berubah. Dengan demikian, liturgi pujian penyembahan yang post-modern juga harus menyediakan ruang bagi fleksibilitas.

Beberapa Hal yang Harus Diingat
1.      Lakukan adaptasi yang sesuai porsinya.
Liturgi yang post-modern memang membawa kita untuk lebih condong kepada aspek emosi dari si penyembah, namun ini bukan berarti bahwa pemberitaan Firman yang objektif jadi diabaikan. Semangat liturgi yang hanya didasarkan kepada emosi tidak akan bertahan lama. Tanpa menerima pengajaran Firman yang dibutuhkan untuk mempertahankan semangat emosi itu, jemaat akhirnya terus berusaha mengulang pengalaman rohani yang sama, lagi dan lagi, setiap minggu, sampai akhirnya mereka akan kelelahan sendiri dan mulai kehilangan sukacita dalam ibadah.
Bryan D. Spinks melalui bukunya “The Worship Mall” memperingatkan kita bahwa semangat subjektivisme emosi dari penyembahan post-modern bisa akhirnya menjebak kita untuk menyuguhkan liturgi yang terlalu subjektif, dan akhirnya hanya bermakna bagi para pelayan yang merancangnya.[20] Subjektivisme dalam liturgi pujian penyembahan post-modern haruslah didasarkan kepada kebenaran yang objektif. Tujuan liturgi pujian penyembahan yang post-modern bukanlah agar jemaat masing-masing bisa membentuk gambaran tentang Allahnya sendiri, melainkan agar apa yang secara objektif dikatakan Alkitab, dimaknai secara personal.

2.      Adaptasi liturgi hanya salah satu dari banyak cara revitalisasi gereja.
Pembaharuan liturgi mungkin bisa menghidupkan penyembahan dalam gereja, tetapi ini bukan berarti bahwa seluruh tugas revitalisasi gereja bergantung secara tunggal kepada hal ini. Ada banyak aspek lain yang lebih krusial. Dalam pengalaman pelayanannya sebagai pemimpin pujian. Greg Scheer banyak sekali bertemu dengan pemimpin gereja yang berharap adaptasi kepada musik kontemporer sudah cukup untuk merevitalisasi gereja mereka, sebagaimana kesaksiannya:

Beberapa tahun lalu, saya diminta untuk membantu sebuah komite penyembahan dari sebuah gereja besar yang sedang memikirkan untuk menambah sebuah ibadah baru dengan musik kontemporer... Tambahan alat musik akan menekan para pemusik yang sudah sangat penuh... Jika tujuan mereka adalah untuk menjangkau yang terhilang, aku memberikan usulan, bukankah lebih masuk akal untuk menambah ibadah dengan bahasa Spanyol mengingat banyaknya imigran Latin yang baru berdatangan di kota itu? [21]

Akhir cerita, Sheer mengungkapkan bahwa ibadah musik kontemporer mereka dibuat terburu-buru, semua pemusiknya tidak siap, musik kontemporer mereka tidak benar-benar kontemporer, dan ibadah yang setengah matang ini tidak berhasil merevitalisasi gereja. Jemaat yang lama tidak menyukai ibadah kontemporer yang disuguhkan, dan ibadah kontemporer ini malah akhirnya tidak mampu menarik jemaat yang baru.[22]
Kesaksian Sheer ini mengingatkan kita bahwa proses adaptasi gereja tidak terbatas hanya kepada aspek liturgi saja. Liturgi hanya salah satu bagian dari proses adaptasi gereja. Menjadikan ibadah relevan bagi jemaat kontemporer memerlukan proses yang integratif, di mana semua aspek gerejawi, bukan hanya liturgi, dimaknai ulang dalam konteks kontemporer.

3.      Gereja harus terus beradaptasi.
Adaptasi kepada unsur zaman kontemporer tidak boleh dilakukan hanya sebatas pada konteks post-modern saja. Tongkat estafet harus terus diberikan dari generasi ke generasi. Sebagaimana generasi modern menyerahkan tongkat kepemimpinan liturgi kepada generasi post-modern, demikian pula generasi post-modern harus meneruskannya kepada generasi berikutnya dan membiarkan generasi yang baru itu membentuk wajah liturgi.
Gereja harus memiliki kemampuan untuk melihat jauh ke depan dan melakukan prediksi akan perubahan-perubahan budaya dan zaman yang harus diantisipasi. Salah satu contoh yang baik dari usaha prediksi ke depan dilakukan oleh Robb Redman, yang melihat perubahan demografi jumlah penduduk dan etnis mayoritas di Amerika Serikat sebagai petunjuk dari proses adaptasi yang harus dilakukan gerejanya ke depan. Redman mengambil data dari badan sensus penduduk Amerika Serikat yang mengatakan bahwa di tahun 2050 akan ada penurunan dari populasi kulit putih sebesar 30% dan kenaikan kelompok etnis yang lain sebesar 92%. Kulit hitam akan mengalami peningkatan paling besar, kelompok hispanik ada di posisi kedua, dengan kelompok Asia-Amerika menduduki posisi ketiga namun dengan tingkat pertumbuhan yang paling signifikan. Melihat hal ini, Redman mengusulkan sebuah liturgi yang lebih komunal, lebih tidak berwarna, dengan pesan khotbah yang lebih mengusung persatuan dan kesamarataan. Menurutnya, perubahan-perubahan ini akan mampu merangkul semua perubahan demografi etnis yang akan terjadi di depan.[23]

Kesimpulan
Gereja adalah institusi yang dibangun di atas dasar Alkitab. Esensi alkitabiah ini tidak boleh berubah, tetapi esensi ini harus diterjemahkan secara kontekstual kepada zaman kontemporer. Oleh sebab itu, semangat zaman tidak boleh dilihat sebagai musuh yang merusak kemurnian esensi ibadah, tetapi sebagai petunjuk akan arah adaptasi yang harus dilakukan gereja ke depan agar ibadah bisa terus relevan dalam kehidupan jemaat.
Berkenaan dengan liturgi di zaman post-modern, kita melihat adanya pergeseran fokus dari objektivitas kepada subjektititas. Jemaat di zaman post-modern merindukan, bukan hanya untuk mengetahui kebenaran tentang Allah, namun merasakan kebenaran itu secara langsung dan personal dalam pengalaman mereka. Hal ini mendorong beberapa perubahan dalam liturgi: berbasis pengalaman, partisipatori secara komunal, penggunaan teknologi yang mendorong imajinasi kreatif akan Allah, dan fleksibilitas.




Daftar Pustaka

Crouch, Andy. “Amplified Version: Worship Wars Come Down to Music and a Power Plug.” In Worship at the Next Level: Insight from Contemporary Voices, edited by Tim A. Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.
               
Dean, Kenda Creasy. “Moshing for Jesus: Adolescence as a Cultural Context for Worship.” In Worship at the Next Level: Insight from Contemporary Voices, edited by Tim A. Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.

Kroeker, Charlotte. The Sounds of Our Offerings - Achieving Excellence in Church Music. Herndon: ALBAN, 2011.

Kuyper, Abraham. Our Worship. Edited by Harry Boonstra. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2009.

Murray, John. “Song in Public Worship.” In Worship in the Presence of God: A Collection of Essays on the Nature, Elements, and Historic Views and Practice of Worship, edited by Frank J. Smith and David Lachman. Greenville: Greenville Seminary Press, 1992.

Redman, Robb. The Great Worship Awakening? Singing a New Song in the Postmodern Church. San Fransisco: Jossey-Bass, 2002.

Riddell, Mike, Mike Pierson, and Cathy Kirkpatrick. “New Approaches to Worship.” In Worship at the Next Level: Insight from Contemporary Voices, edited by Tim A. Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.

Scheer, Greg. The Art of Worship: A Musician’s Guide to Leading Modern Worship. Grand Rapids: Baker Books, 2006.

Smith, Frank J. “An Introduction to the Elements of Worship.” In Worship in the Presence of God: A Collection of Essays on the Nature, Elements, and Historic Views and Practice of Worship, edited by Frank J. Smith and David Lachman. Greenville: Greenville Seminary Press, 1992.

Spinks, Bryan D. The Worship Mall: Contemporary Responses to Contemporary Culture. London: SPCK, 2010.

Sweet, Leonard. “A New Reformation: Re-Creating Worship for a Postmodern World.” In Worship at the Next Level: Insight from Contemporary Voices, edited by Tim A. Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.

Webber, Robert E. “The Crisis of Evangelical Worship: Authentic Worship in a Changing World.” In Worship at the Next Level: Insight from Contemporary Voices, edited by Tim A. Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.

White, James F. “What Do We Mean by ‘Christian Worship’?” In Worship at the Next Level: Insight from Contemporary Voices, edited by Tim A. Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.





[1]. Abraham Kuyper, Our Worship, ed. Harry Boonstra (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2009), 38.
[2]. Kuyper, Our Worship, 39.
[3]. Kuyper, Our Worship, 38; Untuk melihat perdebatan yang terjadi antara Himne dan Mazmur lihat juga John Murray, “Song in Public Worship,” in Worship in the Presence of God: A Collection of Essays on the Nature, Elements, and Historic Views and Practice of Worship, ed. Frank J. Smith and David Lachman (Greenville: Greenville Seminary Press, 1992), 182.                            
[4]. James F. White, “What Do We Mean by ‘Christian Worship’?,” in Worship at the Next Level: Insight From Contemporary Voices, ed. Tim A. Dearborn and Scott Coil (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 28; Frank J. Smith, “An Introduction to The Elements of Worship,” in Worship in the Presence of God: A Collection of Essays on the Nature, Elements, and Historic Views and Practice of Worship, ed. Frank J. Smith and David Lachman (Greenville: Greenville Seminary Press, 1992), 133.
[5].  Andy Crouch, “Amplified Version: Worship Wars Come Down to Music and a Power Plug,” in Worship at The Next Level: Insight From Contemporary Voices, ed. Tim A. Dearborn and Scott Coil (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 132.
[6]. Leonard Sweet, “A New Reformation: Re-Creating Worship for a Postmodern World,” in Worship at the Next Level: Insight From Contemporary Voices, ed. Tim A. Dearborn and Scott Coil (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 103.
[7]. Greg Scheer, The Art of Worship: A Musician’s Guide to Leading Modern Worship (Grand Rapids: Baker Books, 2006), 212; Lihat juga Crouch, “Amplified Version: Worship Wars Come Down to Music and a Power Plug,” 134.
[8]. Mike Riddell, Mike Pierson, and Cathy Kirkpatrick, “New Approaches to Worship,” in Worship at The Next Level: Insight From Contemporary Voices, ed. Tim A. Dearborn and Scott Coil (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 141.
[9]. Robb Redman, The Great Worship Awakening? Singing a New Song in The Postmodern Church (San Fransisco: Jossey-Bass, 2002), 159.
[10]. Redman, The Great Worship Awakening?, 18-19.
[11]. Charlotte Kroeker, The Sounds of Our Offerings - Achieving Excellence in Church Music (Herndon: ALBAN, 2011), 98.
[12]. Kroeker, The Sound of Our Offerings, 122.
[13]. Scheer, The Art of Worship: A Musician’s Guide to Leading Modern Worship, 211-212.
[14].  Robert E. Webber, “The Crisis of Evangelical Worship: Authentic Worship in a Changing World,” In Worship at the Next Level: Insight from Contemporary Voices, edited by Tim A. Dearborn and Scott Coil (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 99-100.
[15]. Kenda Creasy Dean, “Moshing for Jesus: Adolescence as a Cultural Context for Worship,” in Worship at The Next Level: Insight From Contemporary Voices, ed. Tim A. Dearborn and Scott Coil (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 118.
[16]. Dean, "Moshing for Jesus", 101.
[17]. Crouch, “Amplified Version: Worship Wars Come Down to Music and a Power Plug,” 129.
[18]. Sweet, “A New Reformation: Re-Creating Worship for a Postmodern World,” 104.
[19]. Riddell, Pierson, and Kirkpatrick, “New Approaches to Worship,” 145-146.
[20]. Bryan D. Spinks, The Worship Mall: Contemporary Responses to Contemporary Culture (London: SPCK, 2010), 61.
[21]. Scheer, The Art of Worship: A Musician’s Guide to Leading Modern Worship, 17.
[22]. Scheer, The Art of Worship, 18.
[23]. Redman, The Great Worship Awakening?, 96.