Jumat, 02 Juni 2017

Imagining God: Thinking God in Images



Imagining God: Thinking God in Images
Andreas Himawan


Pendahuluan

Ketika masih muda, saya menggantung foto Bung Karno di kamar saya. Saya senang melihat Bung Karno, ada semacam gelora yang terpancar keluar dari dirinya. Saya tuliskan satu kalimat di foto tersebut, yang berbunyi demikian: “Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit, sekalipun engkau tidak mampu mencapainya, paling tidak engkau bisa terbang lebih tinggi.” Saya tidak sangat yakin apakah kalimat ini asli dari mulutnya, atau hanya sekadar parafrase, tetapi saya menjadikan kalimat tersebut sebagai bayangan mental saya untuk menaruh cita-cita lebih tinggi. Kalau kita menaruh cita-cita di bubungan rumah, kita mungkin akan mudah mencapainya, dan ketika tercapai, kita akan langsung merasa puas. Tetapi jika kita meletakkannya di bintang, mungkin kita tidak akan mampu meraihnya, namun di dalam upaya mencapai bintang itu, pasti kita akan terbang lebih tinggi. Gambaran seperti demikian dapat menjadi bayangan mental yang kuat di dalam kita, dan memengaruhi kehidupan kita.
Bung Karno memang ahli dalam memberikan gambaran mental demikian. Misalnya, kalimatnya yang menggelegar: “Berikan aku 10 pemuda dan aku akan menggoncangkan dunia.” Bayangan imajiner dan gelora seperti itu sangat luar biasa, dan sering kita tidak sadar bahwa hal-hal seperti demikian sangat membentuk kehidupan kita. Bahkan Bung Karno berhasil menyatukan bangsa Indonesia dengan gelora pidatonya yang penuh dengan gambaran-gambaran yang membuat kita merasa bersatu di dalam satu negara kesatuan Republik Indonesia. Itulah saat ketika dia sedang berusaha melakukan Nation Building (membangun kebangsaan). Dia menggelorakan semangat kebangsaan dengan berbagai retorika yang hebat dan penuh dengan gambaran-gambaran yang kuat. Sebenarnya dia sedang melakukan apa yang dikatakan oleh Ben Anderson, seorang ahli politik, bahwa bangsa adalah suatu “imagined community(suatu komunitas yang kita bayangkan).[1] Indonesia adalah suatu negara yang sangat luas dan beragam, tetapi kita memiliki bayangan bahwa kita adalah satu bangsa. Kita tidak pernah bertemu dengan setiap orang dalam bangsa ini, tetapi kita dapat merasakan dan membayangkan bahwa mereka adalah saudara kita. Kita berimajinasi dalam bayangan mental kita bahwa mereka adalah saudara kita. Menurut Anderson, komunitas yang lebih besar dari desa (di mana orang dapat bertemu muka dengan muka) adalah komunitas imagined.[2] Gambaran-gambaran mental yang demikian yang sesungguhnya menyatukan kita dalam satu komunitas, walaupun kita tidak pernah bertemu satu dengan yang lain.
Demikian pula ketika berbicara tentang Allah. Hampir seluruh pembahasan kita tentang Allah adalah pembahasan metafora yang kita kaitkan dengan imajinasi. Ini yang akan kita bicarakan dalam bagian ini. Kita tidak akan secara khusus membicarakan tentang imajinasi, tetapi tentang bagaimana kita “berbicara tentang Allah,” bagaimana kita imagining God. Pendeknya, pembahasan kita adalah tentang thinking about God in images.



Yesaya 6:1-8
In the year that King Uzziah died I saw the Lord
                sitting upon a throne, high and lifted up;
                and the train of his robe filled the temple.
               
Above him stood the seraphim.
                Each had six wings: with two he covered his face,
                and with two he covered his feet, and with two he flew.
                                And one called to another and said:
                                "Holy, holy, holy is the LORD of hosts;
                                the whole earth is full of his glory!"

And the foundations of the thresholds
                shook at the voice of him who called,
                and the house was filled with smoke.

And I said: "Woe is me!
                For I am lost;
                for I am a man of unclean lips,
                and I dwell in the midst of a people of unclean lips;
                for my eyes have seen the King, the LORD of hosts!"

Then one of the seraphim flew to me,
                having in his hand a burning coal
                that he had taken with tongs from the altar.
                                And he touched my mouth and said:
                                                "Behold, this has touched your lips;
                                                your guilt is taken away,
                                                and your sin atoned for."

And I heard the voice of the Lord saying,
"Whom shall I send, and who will go for us?"
Then I said, "Here am I! Send me."

Bahasa Analogical Imagination
Bacaan kita mengatakan bahwa pada tahun matinya raja Uzia, Yesaya melihat Allah. Apa yang dimaksudkan bahwa Yesaya melihat Allah dan bagaimana dia melihat Allah? Coba perhatikan apa yang Yesaya lihat. Yang dia lihat adalah suatu penggambaran tentang Allah. Allah digambarkan sebagai Raja yang duduk di atas tahta-Nya, dan jubah-Nya memenuhi seluruh tahta kerajaan sorgawi. Ketika menggunakan bahasa penggambaran demikian, sebenarnya Yesaya sedang menggunakan bahasa analogical imagination. Analogical imagination adalah bahasa metafora untuk menggambarkan Allah secara analogis. Secara sederhana, bahasa analogis adalah suatu cara untuk menggambarkan suatu realitas (dalam hal ini, Allah) dengan menggunakan realitas lain (dalam hal ini, seorang raja manusia), dengan suatu asumsi dasar bahwa antara realitas yang menggambarkan dengan realitas yang digambarkan ada kemiripan walaupun tentu saja ada ketidak-miripan juga. Realitas yang dipakai untuk menggambar realitas Allah bukanlah suatu realitas yang sama sekali berbeda, tetapi juga bukan seluruhnya sama, jadi terdapat similarity-in-dissimilarity dan dissimilarity-in-similarity.
Allah menyatakan diri-Nya kepada Yesaya di dalam kemuliaan dan keagungan-Nya, dan ketika Yesaya mau menggambarkan hal tersebut, dia menggunakan imagination untuk menggambarkan secara analogis: Allah seperti seorang raja, tetapi jauh lebih mulia dan berkuasa dibandingkan dengan seorang raja manusia. Tetapi imagination yang dimaksud bukanlah imajinasi fiktif atau khayalan belaka. Menurut George MacDonald (1824-1905), imagination adalah kemampuan untuk memberi bentuk kepada pikiran, suatu bentuk (apapun bentuknya) yang dapat ditangkap oleh panca indera. “The imagination is that faculty which gives form to thought—not necessarily uttered form, but form capable of being uttered in shape or in sound, or in any mode upon which the senses can lay hold.[3] Kita mempunyai pikiran, dan supaya pikiran itu dapat ditangkap oleh panca indera maka pikiran itu diwujudkan dalam bentuk imajinasi. Yesaya melihat Allah, ketika dia mau menggambarkan tentang Allah, pikirannya tahu bahwa itu adalah Allah, maka dia memberi bentuk kepada pikiran itu. Yesaya melihat Allah yang digambarkan sebagai Raja, yang duduk di atas tahta dengan jubah-Nya yang memenuhi seluruh tahta surgawi. Hal ini bukan fiksi, bohong-bohongan, bukan imajinasi semata, tetapi dalam pengertian suatu bahasa metafora (yakni, menggambarkan Allah dengan menggunakan imagination dari kehidupan sehari-hari). Imajinasi ini adalah suatu kemampuan dalam diri yang memberikan bentuk kepada pikiran, yang bisa dimaknai dan ditangkap oleh panca indera.
Panca indera ini sangatlah penting, karena semua relasi dengan realitas didasarkan pada panca indera. Manusia menginginkan sesuatu yang bisa dilihat, karena itu Allah digambarkan dalam suatu “bentuk” yang bisa dilihat mata. Ketika Yesaya melihat Allah, Dia digambarkan sebagai Sang Raja (ayat 5). Di sini ada unsur similaritas, yaitu Allah digambarkan sebagai seorang raja manusia yang duduk di atas tahta dengan jubahnya yang luar biasa megah. Ada kesamaan di mana kerajaan manusia dipakai untuk menggambarkan kerajaan Allah. Tetapi dalam konteks disimilaritas, Allah itu bukan betul-betul raja manusia, yang duduk di atas tahta dan memakai jubah yang megah seperti manusia, karena semegah apapun jubah manusia, hal itu tidak bisa sepenuhnya menggambar kemegahan Allah. Penekanan disimilaritas adalah bahwa kerajaan Allah jauh melampaui kerajaan manusia. Tetapi untuk menggambarkan hal itu, diperlukan similaritas penggambaran tentang Allah. Imajinasi itu keluar memberi bentuk kepada pikiran.
Dalam konteks kematian Raja Uzia (yang terjadi pada sekitar tahun 742 sM), penggambaran ke-Raja-an Allah bahkan memberikan kontras yang sangat relevan: ke-raja-an Uzia adalah transitoris, tetapi ke-Raja-an Allah adalah langgeng; kemuliaan ke-raja-an Uzia adalah fana (dan bahkan dia harus mati dalam keadaan sakit kusta), tetapi ke-Raja-an Allah penuh kemuliaan dan kekudusan yang abadi. Raja manusia akan turun dari tahta, tetapi Sang Raja Ilahi akan tetap di atas tahta-Nya, untuk selamanya. Gambaran seperti ini jelas memberikan kekuatan kepada umat Allah untuk selalu berpegang kepada Sang Raja yang Abadi itu.
Itulah penggambaran Yesaya tentang Allah dalam bahasa metafora. Yesaya tidak benar-benar “melihat” Allah sebagaimana Dia ada dan kemudian memotret Allah apa adanya. Lebih tepatnya, Yesaya menyadari kehadiran Allah dan dia menggambarkan Allah secara simbolis dan metaforis. C. S. Lewis mengatakan, “semua bahasa yang kita pakai untuk hal-hal di luar dari yang bersifat fisik, pasti harus menggunakan bahasa metafota” (All language about things other than physical objects is necessarily metaphorical.)[4] Perjanjian Lama memang menegaskan bahwa manusia tidak bisa melihat Allah, tetapi luar biasanya manusia dapat menggambarkan Allah.

Allah tidak dapat Dilihat tetapi dapat Direpresentasikan

Dalam Keluaran 33:20, 23 dikatakan bahwa Musa tidak dapat melihat bagian muka Allah, tetapi dia dapat melihat bagian belakang-Nya. Apa yang dimaksud dengan “melihat bagian depan Allah,” dan apa bedanya dengan “melihat bagian belakang-Nya”? Bukankah melihat depan atau melihat belakang sama saja melihat pada sosok Allah? Jelas perkataan ini adalah suatu penggambaran bahwa Musa tidak dapat melihat rupa Allah, yaitu tidak dapat melihat Allah pada diri-Nya, Allah sebagaimana Allah ada (God-in-Himself). Tetapi Allah menyajikan diri-Nya untuk dapat “dilihat,” yakni “melihat bagian belakang Allah.” Jelas yang dimaksud bukanlah melihat kepada Allah secara langsung dan tanpa perantara; melihat belakang Allah adalah melihat representasi Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Allah yang tidak dapat dilihat secara langsung itu dapat dilihat dengan representasi dalam simbol dan metafora.
Dalam arti itulah dikatakan di dalam Keluaran 33:11, bahwa Musa berhadapan muka dengan muka dengan Allah. Dia memang tidak melihat muka Allah, tetapi Dia berhadapan dengan Allah yang nyata, dalam representasi Allah yang akurat, yang disimbolisasikan dengan perkataan “melihat belakang Allah.” Melihat muka Allah berarti melihat kemuliaan Allah secara langsung dan tanpa perantara (immediate), dan hal itu tidak seorang manusia pun dapat melakukannya. Melihat punggung Allah adalah melihat Allah yang direpresentasikan dalam pelbagai metafora, melihat Allah melalui suatu perantara. Jadi sekalipun Alkitab mengatakan bahwa Musa, bahkan umat Israel juga, bertatapan muka dengan Allah, hal itu bukanlah berarti mereka telah melihat kepada Allah sebagaimana Allah ada (God-in-Himself). Perhatikan, ketika Alkitab mengatakan umat Israel berhadapan muka dengan muka dengan Allah, yang orang-orang Israel lihat adalah tiang awan dan tiang api (Bil. 14:14).
Jadi sekalipun ada berbagai ayat di Perjanjian Lama yang mengatakan bahwa TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seseorang berbicara kepada temannya (Kel. 33:11) atau bahwa Musa dikenal Allah dengan berhadapan muka (Ul. 34:10), dalam Perjanjian Baru tetap saja dikatakan bahwa tidak seorang pun yang pernah melihat Allah (Yoh. 1:18). Ini juga berarti Yesaya tidak melihat Allah sebagaimana Allah ada. Yang dilihat Yesaya adalah representasi kehadiran Allah dalam gambaran Sang Raja yang duduk di atas tahta-Nya dan dikelilingi oleh makhluk-makhluk kudus yang memuliakan-Nya. Tetapi ini adalah representasi dan gambaran yang kudus, the art of naming yang sesuai dengan penggambaran Allah sendiri. Karena itu Allah melarang manusia secara sembarangan membuat representasi Allah seperti yang dilakukan oleh agama-agama dan budaya yang ada pada saat itu.
Hukum ke-2 dalam Sepuluh Hukum Taurat berbunyi: “You shall not make for yourself a graven image, or any likeness of anything …” (Kel. 20:4). Artinya, kita jangan membuat untuk diri kita sendiri gambaran apapun atau patung atau kemiripan-kemiripan lain yang kita anggap sebagai Allah kita dan kita sujud menyembah kepada-Nya. Jangan pernah mendefinisikan Allah berdasarkan pikiran dan kemauan kita diri sendiri. Mari kita menempatkan diri di bawah Allah, biarlah Allah yang mendefinisikan diri-Nya untuk kita, mendefinisikan kita di hadapan Allah, dan mendefinisikan apa yang terbaik untuk kita. Hanya Allah yang bisa berkata “Aku adalah Aku.” Ini berarti, kita harus menggambarkan Allah sebagaimana Allah menggambarkan diri-Nya.

Allah menggambarkan Diri-Nya secara konkret di dalam diri Yesus Kristus

Allah mengatakan, “You shall not make for yourself a graven image, or any likeness of anything.” Tetapi masalahnya manusia perlu melihat, menyentuh, merasakan sesuatu yang masuk ke dalam sensibilitas kita. Allah mengetahui kebutuhan kita, karena itulah Allah menggambarkan diri-Nya. Allah merepresentasikan diri-Nya untuk manusia, di dalam Yesus yang konkret dan nyata diberikan diri-Nya untuk kita.
Yohanes 1:18 mengatakan, “No one has ever seen God; the only God, who is at the Father's side, he has made him known (ESV).” Tidak seorang pun pernah melihat Allah, tetapi Anak Tunggal Allah yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya. Yesus yang membawa Allah untuk disajikan dan diperlihatkan kepada kita. Yesus merepresentasikan Allah.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus memang sering disebut merepresentasikan Allah. Dalam Ibrani 1:3 dikatakan bahwa Yesus adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.” Yesus adalah gambar dari perwujudan Allah, Dia adalah pengejawantahan Allah. Dalam bahasa Inggris ada beberapa terjemahan lain yang cukup impresif untuk kata ini, misalnya, bahwa Yesus adalahthe exact imprint of God’s nature” (Yesus adalah cetakan persisnya Allah, ESV); Yesus adalah “the express image of God’s person (Yesus adalah gambaran atau citra yang ternyatakan, yang terekspresikan dari diri Allah, KJV); Yesus adalah “the exact representation of God’s being” (Yesus adalah representasikan persis dari diri Allah, NIV). Kata Yunani yang digunakan dalam ayat ini adalah χαρακτὴρ (karakter). Yang dimaksud dengan karakter adalah sesuatu yang dibentuk, diukir atau dicetak. (Karena itulah, karakter seorang manusia adalah suatu sifat yang sudah terbentuk dan terpatri di dalam diri seseorang.) Yesus adalah karakter Allah, Dia adalah ukiran Allah, di dalam diri Yesus diri Allah terpatri secara kasat mata.
Dalam Perjanjian Baru juga digunakan kata eikon untuk menggambarkan Yesus sebagai representasi Allah. Dalam 2 Korintus 4:4, Yesus disebut εἰκὼν τοῦ θεοῦ. Yesus adalah “the image of God.” Kata yang sama juga digunakan dalam Kolose 1:15. Yesus adalah ikon Allah. Eikon adalah sesuatu yang dibuat (misalnya, patung) yang dianggap menyerupai sesuatu yang lain yang ingin direpresentasikan (misalnya, Allah). Allah tidak terlihat dan tidak bisa dilihat, tetapi sekarang Dia menjadi dapat dilihat (mengejawantah) di dalam diri Yesus. Allah mendapatkan eikon (image) dalam diri Yesus Kristus. Karena itu, Yesus menegaskan bahwa siapa yang melihat Dia berarti sudah melihat Allah (Yoh. 14:9). Menurut Paulus, di dalam Yesus Kristus secara tubuh (somatikos) segenap kepenuhan ke-Allah-an berdiam (Kol. 2:9). Dalam pengertian ini, kita memiliki image, gambaran atau bentuk, yang Allah gambarkan sendiri. Yang pertama, ini berarti Yesus adalah image, Dia pembawa gambaran yang paling benar tentang Allah. Tetapi yang kedua yang lebih penting adalah Yesus bukan hanya suatu tanda yang menunjuk kepada Allah, tetapi Dia secara substansial adalah “pembawa” Allah itu sendiri. Ketika kita melihat Yesus, kita melihat Allah. Dia tidak sedang menunjuk kepada Allah yang jauh “di sana” tetapi dia menunjuk kepada diri-Nya sendiri. Yesus yang lahir di kandang domba, yang hidup 33 tahun di dunia, ditangkap, disiksa, dianiaya, digantung di atas kayu salib, mati dan dikuburkan, bangkit dan naik ke surga, Dia itu adalah Allah. Dia adalah penunjuk, tetapi lebih dari itu Dia adalah pembawa Allah itu sendiri. Jadi sekarang kita memiliki image, “patung” Allah di dalam diri Yesus. Allah merepresentasikan diri-Nya di dalam diri Yesus sebagai Anak Tunggal Allah yang berinkarnasi.
Akan tetapi, walaupun Kristus adalah representasi yang persis dan konkret dari Allah, tetapi bukan berarti kita telah melihat seluruh kemuliaan dan keagungan Allah. 1 Korintus 13:12 mengatakan, “For now we see in a mirror dimly, but then face to face. Now I know in part; then I shall know fully, even as I have been fully known (ESV).” Kita sudah punya gambaran yang sangat konkret dan sangat persis, tetapi tetap belum melihat secara keseluruhan ke-Allah-an itu. Inkarnasi Yesus Kristus menggambarkan Allah secara konkret, sekalipun masih dalam “gambaran yang samar-samar.” Namun, sekalipun belum melihat secara tuntas, tetapi dalam diri Yesus Kristus kita sudah melihat Allah secara tepat dan benar. Ini berarti kita dapat menggambarkan Allah, walaupun samar tetapi “kena. Karena itu, seluruh penggambaran tentang Allah haruslah bersifar Kristologis, yakni harus berfokus dan berinti di dalam diri Yesus Kristus. Mengenal Allah berarti mengenal seluruh diri, perbuatan dan perkataan Yesus Kristus. Karena itu, kita harus “Fixing our eyes on Jesus,” (Ibr. 12:2). Setel matamu kepada Yesus, di situlah engkau melihat Allah sebagaimana Allah menggambarkan diri-Nya sendiri. Fokuskan hidupmu, gambaranmu, dirimu, citramu, metaforamu, kemampuan berimajinasi dan simbolikmu kepada Yesus Kristus.

Allah Menyajikan Diri-Nya dalam Bentuk yang Sensible

Ketika Allah datang dalam diri Yesus Kristus, Dia sebenarnya menyajikan diri-Nya dalam bentuk yang sensible, yakni di dalam bentuk yang dapat diinderawi—dilihat, didengar, disentuh, dan dapat dirasakan. Segenap relasi manusia dengan realitas memang berdasarkan senses (panca indera). Tidak heran, ketika Allah ingin kita berhubungan dengan Diri-Nya, Dia merepresentasikan diri-Nya dalam bentuk yang sensible. Augustinus mengatakan, “Whatever has not entered through a sense of your body, also cannot be thought about by your mind.”[5] (Apa yang tidak masuk melalui satu indera tubuhmu, tidak dapat juga dipikirkan oleh akal budimu). Bagaimana kita dapat memikirkan tentang Allah kalau kita tidak mampu melihat, mendengar, mencium, merasakan, memeluk, mencicipi, merangkul Allah? Sensibilitas yang memampukan kita untuk memikirkan dan mengalami Allah. Allah menjadikan kita untuk bisa melihat Allah, mendengar Allah, menyentuh Allah, memeluk Allah, mencium aroma kehadiran Allah, dan itu secara konkret dapat terjadi di dalam diri Yesus Kristus. Di dalam diri Yesus Kristus, Allah mengukirkan diri-Nya untuk dapat diterima oleh sensibilitas kita.
Akan tetapi bukankah seolah-olah Yesus sendiri mengharamkan “melihat,” seperti perkataan-Nya kepada Tomas? "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya," (Yoh. 20:29). Apa yang Tomas minta sesungguhnya adalah suatu bukti langsung dan empiris, sesuatu hal yang tidak mungkin bisa secara terus menerus Yesus sediakan buat pengikut-Nya di generasi-generasi berikutnya. Bahkan bagi Yesus, “melihat” seperti yang diinginkan oleh Tomas adalah sesuatu yang dangkal. Tuhan Yesus ingin murid-murid-Nya lebih memiliki imagination tentang kehadiran-Nya. Yesus tidak mengembargo senses kita untuk melihat Dia dan menyentuh Dia, bahkan Dia meluaskan senses kita. Ketika Yesus kembali ke surga, Dia memberikan metafora kehadiran tubuh-Nya yang dapat dilihat, disentuh, dan dicicip. “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: ‘Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku,’” (Luk. 22:19). Inilah salah satu bentuk sensibilitas dalam beriman kepada Yesus Kristus. Suatu bahasa penamaan (naming) dan pemaknaan (meaning) secara metaforis untuk kita melihat Dia. Setiap kali roti dipecahkan dalam Perjamuan Kudus, Yesus mau kita dapat melihat Diri-Nya. Di sini ada unsur similaritas dan disimilaritasnya, suatu gambaran, bentuk dan proses naming yang memberikan makna, kita dapat melihat Yesus dan Dia ada di tengah-tengah kita.
Melalui mental-picturing (penggambaran mental) yang didasarkan oleh kisah hidup Yesus Kristus, kita melakukan proses pemberian bentuk (the art of naming) kepada realitas Ilahi (kebenaran). Dalam proses itu, kita melakukan meaning-making, yakni membuat hidup kita bermakna dalam realitas Ilahi tersebut, membuat hidup kita relevan dalam kebenaran Ilahi tersebut. Ini adalah narrative theology kita; kita tidak sedang menafsirkan kehidupan Yesus berdasarkan kehidupan kita, tetapi menafsirkan kehidupan kita berdasarkan penggambaran diri Allah di dalam Yesus Kristus. Bagaimana saya bisa menempatkan dan memasukkan diri saya ke dalam gambaran tersebut. Dengan kata lain, kita menempatkan diri kita ke dalam dunia yang dibangun oleh penggambaran tentang Yesus Kristus, suatu dunia di mana kita dapat hidup, bergerak, dan berada. Identitas hidup baru kita dibentuk oleh image-image yang bermakna buat kita.
Perhatikan Kisah Para Rasul 2:42-46. Di dalam kisah kehidupan gereja mula-mula ini, antara “memecahkan roti” dan membagi-bagikan harta milik kepada orang lain sangatlah berkaitan erat. Mereka sedang membuat dan menjadikan ukiran kehidupan itu (yakni metafora “memecahkan roti) menjadi suatu bagian dalam identitas dan kisah hidup mereka. Image Yesus memecahkan roti tertanam sangat kuat di dalam diri mereka. Image itu adalah tentang Yesus memecahkan tubuh-Nya untuk dibagikan dan diberikan kepada orang-orang lain. Ketika orang-orang bisa masuk ke dalam gambaran kisah hidup Yesus itu, maka mereka mulai belajar memecah-mecahkan diri mereka untuk orang lain. Dan karena itulah, mereka berani bertindak “memecahkan” harta benda mereka untuk orang-orang yang membutuhkan. Mereka mulai belajar dengan membayangkan suatu kehidupan baru yang pertama-tama bukan dalam arti meraup dan mengambil, tetapi memberi dan berbagi. Mereka menganggap hal itu sebagai salah satu wujud yang nyata dari identitas hidup baru mereka yang dibentuk oleh kehidupan Yesus.
Jikalau imajinasi kita dibentuk di dalam penggambaran Allah di dalam Yesus Kristus, memecahkan roti dan makan roti bukan lagi sekadar hanya soal makan. Dalam Yohanes 6:26-27, Yesus menegur orang banyak yang datang mencari Dia hanya karena mereka makan roti hasil mukjizat dari Yesus dan menjadi kenyang. Mereka tidak memiliki kedalaman insight rohani untuk bisa melihat lebih jauh dan melampaui tautan antara roti dan kenyang. Yesus menjawab mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang. Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya.” Seolah-olah Yesus mengatakan, “Kalau engkau makan, janganlah hanya berpikir tentang makan untuk kenyang secara fisik, karena gambaran mentalmu lebih jauh dari hanya hal-hal yang bersifat fisik, tetapi biarlah ketika engkau makan dan engkau kenyang, engkau menyadari bahwa engkau membutuhkan Roti Hidup. Roti yang engkau makan sehari-hari bermakna lebih daripada hanya membuat kenyang, tetapi harus menjadi gambaran metaforis dari Roti Hidup.”
Perhatikan kembali Yesaya 6:3-5. Ketika para malaikat tidak henti-hentinya berseru “Kudus, Kudus, Kudus,” dan ketika suara mereka menggoncangkan tempat itu, tiba-tiba Yesaya berkesimpulan bahwa dia najis bibir dan dia berada di tengah bangsa yang najis bibir. Mengapa Yesaya bisa langsung menyimpulkan: "Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir? Malaikat-malaikat itu hanya bernyanyi, dan Yesaya lantas berkesimpulan dia orang yang najis bibir. Di situlah sebenarnya Yesaya belajar memasukkan dirinya ke dalam kisah tersebut. Ketika para malaikat memuji-muji dan mengagungkan Allah, pemandangan tersebut meresap ke dalam diri Yesaya. Dia belajar dari pemandangan yang dilihatnya. Dia melihat bagaimana dirinya dan bangsanya lebih banyak menggunakan mulutnya untuk mengucapkan sumpah serapah, fitnah dan gosip. Yesaya menyadari bahwa mulut bibirnya tidak seperti malaikat-malaikat yang memuji Allah. Karena itu, dia tiba-tiba menjadi gagap, ia merasa dirinya tidak sesuai dengan kisah itu dan karena itu dia berteriak, “Celakalah aku.” Para malaikat itu tidak sedang berkhotbah atau memberi kuliah teologis tentang dosa kepada Yesaya, mereka hanya bernyanyi dengan mulut bibir mereka, dan Yesaya, ketika dia melihat kekudusan yang demikian, tiba-tiba dia merasa kotor, dan dia berkata,Aku najis bibir.Ketika penglihatan itu meresap ke dalam dirinya, dia tiba-tiba menyadari bahwa dia tidak cocok dengan kisah itu. Dan ia harus berubah jikalau ia ingin cocok dengan penggambaran kehidupan yang luar biasa itu.
Maka ketika dia mengatakan,Celakalah aku, Tuhan menolong dia, tetapi dengan tindakan yang disimbolisasikan untuk menghadirkan momen sensibilitas itu (bibir mulutnya disentuh dengan bara panas). Dia dinyatakan diampuni dan disucikan. Begitu banyak sensibilitas yang ditunjukkan dalam bagian ini: Matanya melihat ke-Raja-an Allah, bibirnya yang najis disentuh oleh malaikat Allah dengan bara panas, dan telinganya sekarang mendengar panggilan Allah. Yesaya diampuni dan disucikan oleh Allah. Walter Brueggemann menyimpulkan proses dari kisah ini: The vision of splendor to the awareness of inadequacy to the readiness of dispatch (dari visi keagungan Allah menuju kepada suatu kesadaran ketidaklayakan, sampai kepada kesiapan untuk diutus).[6] Ketika Allah berkata, “Siapakah yang akan Kuutus dan siapakah yang akan pergi untuk Kami,” Yesaya tanpa menunda lantas menjawab, “Ini aku, utuslah aku.” Dirinya terlalu terstimulir oleh kisah dan pemandangan itu, dan karena itu, dia tidak mungkin diam. Paulus berkata hal yang sama di hadapan raja Agripa: “Sebab itu, ya raja Agripa, kepada penglihatan yang dari sorga itu tidak pernah aku tidak taat,” (Kis. 26:19).


Daftar Pustaka

Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Edisi Revisi, London: Verson, 2006.

Brueggemann, Walter. Isaiah. Vol. 1, Chapters 1-39 (Westminster Bible Companion). Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1998.

Lewis, C.S. The Weight of Glory. New York: HarperCollins, 1980.

MacDonald, George. “The Imagination: Its Function and Its Culture.” Dalam A Dish of Orts. London: Sampson, Low, Maston & Co., 1895.

Smith, James. Imagining the Kingdom: How Worship Works. Grand Rapids: Baker, 2013.








[1]. Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Edisi Revisi (London: Verson, 2006), 6.
[2]. Anderson, Imagined Communities, 6.
[3]. George MacDonald, “The Imagination: Its Function and Its Culture,” di dalam A Dish of Orts (London: Sampson, Low, Maston & Co., 1895), 2.
[4]. C. S. Lewis, The Weight of Glory (New York: HarperCollins, 1980), 134.
[5]. Dikutip oleh James Smith, Imagining the Kingdom: How Worship Works (Grand Rapids: Baker, 2013), 17.
[6]. Walter Brueggemann, Isaiah, vol. 1, Chapters 1-39 (Westminster Bible Companion) (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1998), 60.

0 komentar:

Posting Komentar