Imagining God: Thinking God in Images
Andreas Himawan
Pendahuluan
Ketika masih muda,
saya menggantung foto Bung Karno di kamar saya. Saya senang melihat Bung Karno,
ada semacam gelora yang terpancar keluar dari dirinya. Saya tuliskan satu
kalimat di foto tersebut, yang berbunyi demikian: “Gantungkanlah cita-citamu
setinggi bintang di langit, sekalipun engkau tidak mampu mencapainya, paling
tidak engkau bisa terbang lebih tinggi.” Saya tidak sangat yakin apakah kalimat
ini asli dari mulutnya, atau hanya sekadar parafrase, tetapi saya menjadikan
kalimat tersebut sebagai bayangan mental saya untuk menaruh cita-cita lebih
tinggi. Kalau kita menaruh cita-cita di bubungan rumah, kita mungkin akan mudah
mencapainya, dan ketika tercapai, kita akan langsung merasa puas. Tetapi jika kita
meletakkannya di bintang, mungkin kita tidak akan mampu meraihnya, namun di
dalam upaya mencapai bintang itu, pasti kita akan terbang
lebih tinggi. Gambaran seperti demikian dapat menjadi bayangan
mental yang kuat di dalam kita, dan memengaruhi kehidupan kita.
Bung Karno memang ahli dalam memberikan gambaran mental demikian.
Misalnya, kalimatnya yang menggelegar: “Berikan aku 10 pemuda dan aku akan
menggoncangkan dunia.” Bayangan imajiner dan gelora seperti itu sangat luar biasa, dan sering
kita tidak sadar bahwa hal-hal seperti demikian sangat membentuk kehidupan kita.
Bahkan Bung Karno berhasil menyatukan bangsa Indonesia dengan gelora pidatonya
yang penuh dengan gambaran-gambaran yang membuat kita merasa bersatu di dalam satu
negara kesatuan Republik Indonesia. Itulah saat ketika dia sedang berusaha
melakukan Nation Building (membangun
kebangsaan). Dia menggelorakan semangat kebangsaan dengan berbagai retorika
yang hebat dan penuh dengan gambaran-gambaran yang kuat. Sebenarnya dia sedang melakukan
apa yang dikatakan oleh Ben Anderson, seorang ahli politik, bahwa bangsa adalah
suatu “imagined community” (suatu
komunitas yang kita bayangkan).[1]
Indonesia adalah suatu negara yang sangat luas dan beragam, tetapi kita
memiliki bayangan bahwa kita adalah satu bangsa. Kita tidak pernah bertemu dengan
setiap orang dalam bangsa ini, tetapi kita dapat merasakan dan membayangkan
bahwa mereka adalah saudara kita. Kita berimajinasi dalam bayangan mental kita bahwa mereka adalah saudara kita. Menurut Anderson,
komunitas yang lebih besar dari desa (di mana orang dapat bertemu muka dengan
muka) adalah komunitas imagined.[2]
Gambaran-gambaran mental yang demikian yang sesungguhnya menyatukan kita dalam
satu komunitas, walaupun kita tidak pernah bertemu satu dengan yang lain.
Demikian pula ketika berbicara tentang Allah. Hampir seluruh pembahasan kita tentang Allah adalah pembahasan metafora yang kita kaitkan dengan imajinasi. Ini yang akan kita
bicarakan dalam bagian ini. Kita tidak akan secara khusus membicarakan tentang
imajinasi, tetapi tentang bagaimana kita “berbicara tentang Allah,” bagaimana
kita imagining God. Pendeknya,
pembahasan kita adalah tentang thinking
about God in images.
Yesaya 6:1-8
In the year that King Uzziah died I saw
the Lord
sitting
upon a throne, high and lifted up;
and
the train of his robe filled the temple.
Above him stood the seraphim.
Each
had six wings: with two he covered his face,
and
with two he covered his feet, and with two he flew.
And
one called to another and said:
"Holy,
holy, holy is the LORD of hosts;
the
whole earth is full of his glory!"
And the foundations of the thresholds
shook
at the voice of him who called,
and
the house was filled with smoke.
And I said: "Woe is me!
For
I am lost;
for
I am a man of unclean lips,
and
I dwell in the midst of a people of unclean lips;
for
my eyes have seen the King, the LORD of hosts!"
Then one of the seraphim flew to me,
having
in his hand a burning coal
that
he had taken with tongs from the altar.
And
he touched my mouth and said:
"Behold,
this has touched your lips;
your
guilt is taken away,
and
your sin atoned for."
And I heard the voice of the Lord
saying,
"Whom shall I send, and who
will go for us?"
Then I said, "Here am I!
Send me."
Bahasa Analogical Imagination
Bacaan kita
mengatakan bahwa pada tahun matinya raja Uzia, Yesaya melihat Allah. Apa yang dimaksudkan bahwa Yesaya melihat
Allah dan bagaimana dia melihat Allah? Coba perhatikan apa yang Yesaya lihat. Yang
dia lihat adalah suatu penggambaran tentang
Allah. Allah digambarkan sebagai Raja yang duduk di atas tahta-Nya, dan jubah-Nya
memenuhi seluruh tahta kerajaan sorgawi.
Ketika
menggunakan bahasa penggambaran demikian, sebenarnya Yesaya sedang menggunakan bahasa
analogical imagination. Analogical
imagination adalah bahasa metafora untuk menggambarkan
Allah secara analogis. Secara sederhana, bahasa analogis adalah suatu cara
untuk menggambarkan suatu realitas (dalam hal ini, Allah) dengan menggunakan
realitas lain (dalam hal ini, seorang raja manusia), dengan suatu asumsi dasar
bahwa antara realitas yang menggambarkan dengan realitas yang digambarkan ada
kemiripan walaupun tentu saja ada ketidak-miripan juga. Realitas yang dipakai
untuk menggambar realitas Allah bukanlah suatu realitas yang sama sekali
berbeda, tetapi juga bukan seluruhnya sama, jadi terdapat similarity-in-dissimilarity
dan dissimilarity-in-similarity.
Allah
menyatakan diri-Nya kepada Yesaya di dalam kemuliaan dan keagungan-Nya, dan
ketika Yesaya mau menggambarkan hal tersebut, dia menggunakan imagination untuk menggambarkan secara
analogis: Allah seperti seorang raja, tetapi jauh lebih mulia dan berkuasa
dibandingkan dengan seorang raja manusia. Tetapi imagination yang dimaksud bukanlah imajinasi fiktif atau khayalan
belaka. Menurut George MacDonald (1824-1905), imagination adalah kemampuan
untuk memberi bentuk kepada pikiran, suatu bentuk (apapun bentuknya)
yang dapat ditangkap oleh panca indera. “The imagination is that
faculty which gives form to thought—not necessarily uttered
form, but form capable of being uttered in shape or in sound, or in any mode
upon which the senses can lay hold.”[3]
Kita mempunyai pikiran, dan
supaya pikiran itu dapat ditangkap oleh panca indera maka pikiran
itu diwujudkan dalam bentuk imajinasi. Yesaya melihat Allah, ketika dia mau menggambarkan tentang Allah, pikirannya
tahu bahwa itu adalah Allah, maka dia memberi
bentuk kepada pikiran itu. Yesaya melihat Allah yang digambarkan sebagai Raja, yang duduk di atas tahta dengan jubah-Nya yang
memenuhi seluruh tahta surgawi. Hal ini bukan
fiksi, “bohong-bohongan”, bukan imajinasi semata, tetapi dalam pengertian suatu
bahasa metafora (yakni, menggambarkan Allah dengan
menggunakan imagination dari
kehidupan sehari-hari). Imajinasi
ini adalah suatu kemampuan dalam diri yang memberikan bentuk
kepada pikiran, yang bisa dimaknai dan ditangkap oleh panca indera.
Panca indera ini sangatlah
penting, karena semua relasi dengan realitas didasarkan
pada panca indera. Manusia menginginkan sesuatu yang bisa dilihat, karena itu Allah digambarkan
dalam suatu “bentuk” yang bisa dilihat mata. Ketika Yesaya melihat Allah, Dia digambarkan
sebagai Sang Raja (ayat 5). Di sini ada unsur similaritas, yaitu Allah
digambarkan sebagai seorang raja manusia yang duduk di atas tahta
dengan jubahnya yang luar biasa megah. Ada kesamaan di
mana kerajaan manusia dipakai untuk menggambarkan kerajaan Allah. Tetapi dalam
konteks disimilaritas, Allah itu bukan betul-betul raja manusia, yang duduk di atas tahta dan memakai jubah yang megah seperti manusia, karena semegah apapun jubah manusia, hal itu tidak bisa sepenuhnya menggambar kemegahan
Allah. Penekanan disimilaritas adalah bahwa kerajaan
Allah jauh melampaui kerajaan manusia. Tetapi untuk menggambarkan hal itu, diperlukan
similaritas penggambaran tentang Allah. Imajinasi itu keluar memberi bentuk
kepada pikiran.
Dalam
konteks kematian Raja Uzia (yang terjadi pada sekitar tahun 742 sM), penggambaran
ke-Raja-an Allah bahkan memberikan kontras yang
sangat relevan: ke-raja-an Uzia adalah transitoris, tetapi ke-Raja-an Allah
adalah langgeng; kemuliaan ke-raja-an Uzia adalah fana (dan bahkan dia harus
mati dalam keadaan sakit kusta), tetapi ke-Raja-an Allah penuh kemuliaan dan
kekudusan yang abadi. Raja manusia akan turun dari tahta, tetapi Sang Raja
Ilahi akan tetap di atas tahta-Nya, untuk selamanya. Gambaran seperti ini jelas
memberikan kekuatan kepada umat Allah untuk selalu berpegang kepada Sang Raja
yang Abadi itu.
Itulah
penggambaran Yesaya tentang Allah dalam bahasa metafora. Yesaya tidak benar-benar “melihat” Allah sebagaimana Dia ada dan kemudian memotret Allah apa adanya. Lebih
tepatnya, Yesaya menyadari kehadiran Allah dan dia menggambarkan Allah secara
simbolis dan metaforis. C. S.
Lewis mengatakan, “semua bahasa yang
kita pakai untuk hal-hal di luar dari yang bersifat fisik, pasti harus
menggunakan bahasa metafota” (All
language about things other than physical objects is necessarily metaphorical.)[4]
Perjanjian Lama memang menegaskan bahwa manusia tidak bisa
melihat Allah, tetapi luar biasanya manusia dapat menggambarkan
Allah.
Allah tidak dapat Dilihat tetapi dapat
Direpresentasikan
Dalam Keluaran 33:20, 23 dikatakan bahwa Musa
tidak dapat melihat bagian muka Allah, tetapi dia dapat melihat bagian
belakang-Nya. Apa yang dimaksud dengan “melihat
bagian depan Allah,” dan apa bedanya dengan “melihat bagian belakang-Nya”?
Bukankah melihat depan atau melihat belakang sama saja melihat pada sosok
Allah? Jelas perkataan ini adalah suatu penggambaran bahwa Musa tidak dapat melihat rupa Allah, yaitu tidak
dapat melihat Allah pada diri-Nya, Allah sebagaimana Allah ada (God-in-Himself). Tetapi Allah menyajikan
diri-Nya untuk dapat “dilihat,” yakni “melihat bagian belakang Allah.” Jelas
yang dimaksud bukanlah melihat kepada Allah secara langsung dan tanpa
perantara; melihat belakang Allah adalah melihat representasi Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Allah yang tidak dapat
dilihat secara langsung itu dapat dilihat dengan representasi dalam simbol dan
metafora.
Dalam arti
itulah dikatakan di dalam Keluaran 33:11, bahwa Musa berhadapan muka dengan
muka dengan Allah. Dia memang tidak melihat muka Allah, tetapi Dia berhadapan
dengan Allah yang nyata, dalam representasi Allah yang akurat, yang
disimbolisasikan dengan perkataan “melihat belakang Allah.” Melihat muka Allah
berarti melihat kemuliaan Allah secara langsung dan tanpa perantara (immediate), dan hal itu tidak seorang
manusia pun dapat melakukannya. Melihat punggung Allah adalah melihat Allah
yang direpresentasikan dalam pelbagai metafora, melihat Allah melalui suatu
perantara. Jadi sekalipun Alkitab mengatakan bahwa Musa, bahkan umat Israel
juga, bertatapan muka dengan Allah, hal itu bukanlah berarti mereka telah
melihat kepada Allah sebagaimana Allah ada (God-in-Himself).
Perhatikan, ketika Alkitab mengatakan umat Israel berhadapan muka dengan muka
dengan Allah, yang orang-orang Israel lihat adalah tiang awan dan tiang api
(Bil. 14:14).
Jadi sekalipun ada berbagai ayat di
Perjanjian Lama yang mengatakan bahwa TUHAN berbicara
kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seseorang berbicara
kepada temannya
(Kel. 33:11) atau
bahwa Musa dikenal Allah dengan berhadapan muka (Ul. 34:10), dalam Perjanjian
Baru tetap saja dikatakan bahwa tidak seorang pun yang pernah melihat Allah
(Yoh. 1:18). Ini juga berarti Yesaya tidak melihat Allah sebagaimana Allah ada.
Yang dilihat Yesaya adalah representasi kehadiran Allah dalam gambaran Sang
Raja yang duduk di atas tahta-Nya dan dikelilingi oleh makhluk-makhluk kudus
yang memuliakan-Nya. Tetapi ini adalah representasi dan gambaran yang kudus, the
art of naming yang sesuai dengan penggambaran Allah sendiri. Karena itu
Allah melarang manusia secara sembarangan membuat representasi Allah seperti
yang dilakukan oleh agama-agama dan budaya yang ada pada saat itu.
Hukum ke-2
dalam Sepuluh Hukum Taurat berbunyi: “You shall not make for yourself
a graven image, or any likeness of anything …” (Kel. 20:4). Artinya, kita jangan membuat
untuk diri kita sendiri gambaran apapun atau patung atau kemiripan-kemiripan
lain yang kita anggap sebagai Allah kita dan kita sujud menyembah kepada-Nya.
Jangan pernah mendefinisikan Allah berdasarkan pikiran dan kemauan kita diri sendiri. Mari kita
menempatkan diri di bawah Allah, biarlah Allah yang
mendefinisikan diri-Nya untuk kita, mendefinisikan kita di hadapan Allah, dan mendefinisikan apa yang terbaik untuk
kita. Hanya Allah yang bisa berkata
“Aku adalah Aku.” Ini berarti, kita harus menggambarkan Allah sebagaimana Allah
menggambarkan diri-Nya.
Allah menggambarkan Diri-Nya
secara konkret di dalam diri Yesus Kristus
Allah mengatakan, “You shall not make for yourself a graven
image, or any likeness of anything.” Tetapi
masalahnya manusia perlu melihat, menyentuh, merasakan sesuatu yang masuk ke
dalam sensibilitas kita. Allah mengetahui kebutuhan
kita, karena itulah Allah menggambarkan diri-Nya. Allah merepresentasikan diri-Nya
untuk manusia, di dalam Yesus yang konkret dan nyata diberikan diri-Nya untuk kita.
Yohanes 1:18 mengatakan,
“No one has ever seen God; the only God,
who is at the Father's side, he has made him known (ESV).” Tidak seorang
pun pernah melihat Allah, tetapi Anak Tunggal Allah yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya. Yesus yang membawa Allah untuk disajikan dan
diperlihatkan kepada kita. Yesus merepresentasikan Allah.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus memang sering disebut merepresentasikan Allah.
Dalam Ibrani 1:3 dikatakan bahwa Yesus adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.”
Yesus adalah gambar dari
perwujudan Allah, Dia
adalah pengejawantahan Allah. Dalam bahasa Inggris ada beberapa terjemahan lain
yang cukup impresif untuk kata ini, misalnya, bahwa Yesus adalah “the exact imprint of God’s nature” (Yesus adalah cetakan
persisnya Allah, ESV); Yesus adalah “the express
image of God’s person” (Yesus adalah gambaran atau citra yang
ternyatakan, yang terekspresikan dari diri Allah, KJV); Yesus adalah “the
exact representation of God’s being” (Yesus adalah representasikan
persis dari diri Allah, NIV). Kata Yunani yang digunakan dalam
ayat ini adalah χαρακτὴρ (karakter). Yang dimaksud dengan karakter adalah sesuatu yang dibentuk, diukir atau dicetak. (Karena
itulah, karakter seorang manusia adalah suatu sifat yang sudah terbentuk dan
terpatri di dalam diri seseorang.) Yesus adalah karakter Allah, Dia adalah ukiran Allah, di dalam diri Yesus diri Allah terpatri secara kasat mata.
Dalam Perjanjian Baru juga digunakan kata eikon untuk menggambarkan Yesus sebagai representasi Allah. Dalam 2
Korintus 4:4, Yesus disebut εἰκὼν τοῦ θεοῦ. Yesus adalah “the image of
God.” Kata yang sama juga
digunakan dalam Kolose 1:15. Yesus adalah ikon Allah. Eikon adalah
sesuatu yang dibuat (misalnya, patung) yang dianggap menyerupai sesuatu yang
lain yang ingin direpresentasikan (misalnya, Allah). Allah tidak terlihat dan tidak bisa dilihat, tetapi sekarang Dia menjadi dapat dilihat (mengejawantah) di dalam diri
Yesus. Allah mendapatkan eikon (image) dalam diri Yesus
Kristus. Karena itu, Yesus menegaskan bahwa siapa yang
melihat Dia berarti sudah melihat Allah (Yoh. 14:9). Menurut Paulus, di dalam Yesus Kristus secara tubuh (somatikos)
segenap kepenuhan ke-Allah-an berdiam (Kol.
2:9). Dalam pengertian ini, kita memiliki image, gambaran atau bentuk, yang Allah gambarkan sendiri. Yang pertama, ini
berarti Yesus adalah image, Dia pembawa gambaran yang paling benar tentang Allah. Tetapi yang kedua yang lebih penting adalah Yesus bukan hanya suatu tanda yang menunjuk kepada Allah, tetapi Dia secara
substansial adalah “pembawa” Allah itu sendiri. Ketika kita melihat
Yesus, kita melihat Allah. Dia tidak sedang menunjuk kepada Allah yang jauh “di
sana” tetapi dia menunjuk kepada diri-Nya sendiri. Yesus yang lahir di kandang
domba, yang hidup 33 tahun di dunia, ditangkap, disiksa, dianiaya, digantung di
atas kayu salib, mati dan dikuburkan, bangkit dan naik ke surga, Dia itu adalah
Allah. Dia adalah penunjuk, tetapi lebih dari itu Dia adalah pembawa Allah itu
sendiri. Jadi sekarang kita memiliki image,
“patung” Allah di dalam diri Yesus. Allah merepresentasikan diri-Nya di dalam
diri Yesus sebagai Anak Tunggal Allah yang berinkarnasi.
Akan tetapi, walaupun Kristus adalah
representasi yang persis dan konkret dari Allah, tetapi bukan
berarti kita telah melihat seluruh kemuliaan dan keagungan Allah. 1 Korintus 13:12
mengatakan, “For now we
see in a mirror dimly, but then face to face. Now I know in part; then I shall
know fully, even as I have been fully known
(ESV).” Kita sudah
punya gambaran yang sangat konkret dan sangat persis,
tetapi tetap belum melihat secara keseluruhan ke-Allah-an itu. Inkarnasi Yesus Kristus menggambarkan Allah
secara konkret, sekalipun masih dalam “gambaran yang samar-samar.” Namun, sekalipun belum melihat secara tuntas,
tetapi dalam diri Yesus Kristus kita sudah melihat Allah secara tepat dan
benar. Ini berarti kita dapat menggambarkan Allah, walaupun samar tetapi “kena”. Karena itu, seluruh penggambaran tentang
Allah haruslah bersifar Kristologis, yakni harus berfokus dan
berinti di dalam diri Yesus Kristus. Mengenal Allah berarti mengenal seluruh
diri, perbuatan dan perkataan Yesus Kristus. Karena itu, kita harus “Fixing our eyes on Jesus,” (Ibr. 12:2). Setel
matamu kepada Yesus, di situlah engkau melihat Allah sebagaimana Allah menggambarkan diri-Nya sendiri. Fokuskan hidupmu, gambaranmu, dirimu, citramu, metaforamu,
kemampuan berimajinasi dan simbolikmu kepada Yesus Kristus.
Allah Menyajikan Diri-Nya dalam Bentuk
yang Sensible
Ketika Allah datang dalam diri Yesus Kristus, Dia sebenarnya menyajikan
diri-Nya dalam bentuk yang sensible, yakni di dalam bentuk yang dapat diinderawi—dilihat, didengar, disentuh,
dan dapat dirasakan. Segenap relasi manusia dengan realitas memang
berdasarkan senses (panca indera).
Tidak heran, ketika Allah ingin kita berhubungan dengan Diri-Nya, Dia
merepresentasikan diri-Nya dalam bentuk yang sensible. Augustinus mengatakan, “Whatever has not entered through a sense of
your body, also cannot be thought about by your mind.”[5]
(Apa yang tidak masuk melalui satu indera tubuhmu, tidak dapat juga dipikirkan
oleh akal budimu). Bagaimana kita dapat memikirkan tentang Allah kalau kita
tidak mampu melihat, mendengar, mencium, merasakan, memeluk, mencicipi,
merangkul Allah? Sensibilitas yang memampukan kita untuk memikirkan dan mengalami Allah. Allah
menjadikan kita untuk bisa melihat Allah, mendengar Allah, menyentuh Allah,
memeluk Allah, mencium aroma kehadiran Allah, dan itu secara konkret dapat
terjadi di dalam diri Yesus Kristus. Di dalam
diri Yesus Kristus, Allah mengukirkan diri-Nya untuk dapat diterima oleh sensibilitas
kita.
Akan tetapi bukankah seolah-olah Yesus sendiri mengharamkan “melihat,” seperti perkataan-Nya
kepada Tomas? "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya.
Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya," (Yoh. 20:29). Apa yang Tomas minta
sesungguhnya adalah suatu bukti langsung dan empiris, sesuatu hal yang tidak
mungkin bisa secara terus menerus Yesus sediakan buat pengikut-Nya di
generasi-generasi berikutnya. Bahkan bagi Yesus, “melihat” seperti yang
diinginkan oleh Tomas adalah sesuatu yang dangkal. Tuhan Yesus ingin
murid-murid-Nya lebih memiliki imagination
tentang kehadiran-Nya. Yesus tidak mengembargo senses kita untuk melihat
Dia dan menyentuh Dia, bahkan Dia meluaskan senses kita. Ketika Yesus kembali
ke surga, Dia memberikan metafora kehadiran tubuh-Nya yang dapat dilihat,
disentuh, dan dicicip. “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur,
memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: ‘Inilah tubuh-Ku
yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku,’” (Luk. 22:19). Inilah salah satu bentuk
sensibilitas dalam beriman kepada Yesus Kristus. Suatu bahasa penamaan (naming)
dan pemaknaan (meaning) secara metaforis untuk kita melihat Dia. Setiap
kali roti dipecahkan dalam Perjamuan Kudus, Yesus mau kita dapat melihat
Diri-Nya. Di sini ada
unsur similaritas dan disimilaritasnya, suatu gambaran, bentuk dan proses naming yang memberikan makna, kita dapat
melihat Yesus dan Dia ada di tengah-tengah kita.
Melalui mental-picturing
(penggambaran
mental) yang didasarkan oleh kisah hidup
Yesus Kristus, kita melakukan proses pemberian bentuk (the art of naming)
kepada realitas Ilahi (kebenaran). Dalam proses
itu, kita melakukan meaning-making, yakni membuat hidup kita bermakna
dalam realitas Ilahi tersebut, membuat hidup kita relevan dalam kebenaran Ilahi
tersebut. Ini adalah narrative theology kita; kita tidak sedang menafsirkan kehidupan Yesus berdasarkan kehidupan kita, tetapi menafsirkan kehidupan kita berdasarkan
penggambaran diri Allah di dalam Yesus Kristus. Bagaimana saya bisa
menempatkan dan memasukkan diri saya ke dalam gambaran tersebut. Dengan kata lain, kita menempatkan diri kita
ke dalam dunia yang dibangun oleh penggambaran tentang Yesus Kristus, suatu
dunia di mana kita dapat hidup, bergerak, dan berada. Identitas hidup baru kita
dibentuk oleh image-image yang bermakna buat kita.
Perhatikan Kisah Para Rasul
2:42-46. Di dalam kisah kehidupan gereja
mula-mula ini, antara “memecahkan roti” dan membagi-bagikan harta milik kepada
orang lain sangatlah berkaitan erat. Mereka sedang membuat
dan menjadikan ukiran kehidupan itu (yakni
metafora “memecahkan
roti”) menjadi suatu bagian
dalam identitas dan kisah hidup mereka. Image Yesus memecahkan roti tertanam sangat kuat di
dalam diri
mereka. Image
itu adalah tentang Yesus memecahkan tubuh-Nya untuk dibagikan dan diberikan
kepada orang-orang lain. Ketika orang-orang bisa masuk ke dalam gambaran
kisah hidup Yesus itu, maka mereka mulai belajar memecah-mecahkan
diri mereka untuk orang lain. Dan karena itulah, mereka berani bertindak
“memecahkan” harta benda mereka untuk orang-orang yang membutuhkan. Mereka
mulai belajar dengan membayangkan suatu kehidupan baru yang pertama-tama bukan
dalam arti meraup dan mengambil, tetapi memberi dan berbagi. Mereka menganggap hal itu sebagai
salah satu wujud
yang nyata dari identitas hidup baru mereka yang
dibentuk oleh kehidupan Yesus.
Jikalau imajinasi kita dibentuk di dalam penggambaran Allah di dalam
Yesus Kristus, memecahkan roti dan makan roti bukan lagi sekadar hanya soal
makan. Dalam Yohanes 6:26-27, Yesus menegur orang banyak yang datang
mencari Dia hanya
karena mereka makan roti hasil mukjizat dari Yesus dan menjadi kenyang. Mereka
tidak memiliki kedalaman insight
rohani untuk bisa melihat lebih jauh dan melampaui tautan antara roti dan
kenyang. “Yesus
menjawab mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan
karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti
itu dan kamu kenyang. Bekerjalah,
bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang
bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia
kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya.” Seolah-olah Yesus mengatakan,
“Kalau engkau makan, janganlah hanya berpikir tentang makan untuk kenyang
secara fisik, karena gambaran mentalmu lebih jauh dari hanya hal-hal yang
bersifat fisik, tetapi biarlah ketika engkau makan dan engkau kenyang, engkau menyadari
bahwa engkau membutuhkan Roti Hidup. Roti yang engkau
makan sehari-hari bermakna lebih daripada hanya membuat kenyang, tetapi harus
menjadi gambaran metaforis dari Roti Hidup.”
Perhatikan
kembali Yesaya 6:3-5. Ketika
para malaikat tidak henti-hentinya berseru “Kudus, Kudus, Kudus,” dan ketika
suara mereka menggoncangkan tempat itu, tiba-tiba
Yesaya berkesimpulan bahwa dia najis bibir dan dia berada di tengah bangsa yang
najis bibir. Mengapa Yesaya bisa langsung menyimpulkan: "Celakalah
aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan
aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir”? Malaikat-malaikat itu hanya bernyanyi, dan Yesaya lantas
berkesimpulan dia orang yang najis bibir. Di situlah sebenarnya Yesaya belajar
memasukkan dirinya ke dalam kisah tersebut. Ketika para malaikat memuji-muji dan
mengagungkan Allah, pemandangan tersebut meresap ke dalam diri Yesaya. Dia belajar dari
pemandangan yang dilihatnya. Dia melihat bagaimana dirinya dan bangsanya lebih
banyak menggunakan mulutnya untuk mengucapkan sumpah serapah, fitnah dan gosip.
Yesaya menyadari bahwa mulut
bibirnya tidak
seperti malaikat-malaikat yang memuji Allah. Karena itu, dia tiba-tiba menjadi gagap, ia merasa dirinya tidak sesuai dengan
kisah itu dan karena itu dia berteriak, “Celakalah aku.” Para malaikat itu tidak sedang berkhotbah atau memberi
kuliah teologis
tentang dosa kepada Yesaya, mereka hanya bernyanyi dengan
mulut bibir mereka, dan Yesaya, ketika dia melihat kekudusan yang demikian, tiba-tiba dia merasa kotor, dan dia berkata, “Aku najis bibir.” Ketika penglihatan itu meresap ke dalam dirinya, dia tiba-tiba menyadari
bahwa dia tidak cocok dengan kisah itu. Dan ia harus
berubah jikalau ia ingin cocok dengan penggambaran kehidupan yang luar biasa
itu.
Maka ketika dia mengatakan, “Celakalah aku,” Tuhan menolong dia, tetapi
dengan tindakan yang disimbolisasikan untuk menghadirkan momen sensibilitas itu
(bibir mulutnya disentuh dengan bara panas). Dia dinyatakan diampuni dan disucikan. Begitu banyak sensibilitas yang ditunjukkan dalam bagian
ini: Matanya melihat ke-Raja-an Allah, bibirnya yang najis disentuh
oleh malaikat Allah dengan bara panas, dan telinganya sekarang mendengar
panggilan Allah. Yesaya diampuni dan disucikan oleh Allah. Walter Brueggemann menyimpulkan proses dari
kisah ini: The vision of splendor to the awareness of inadequacy to the readiness of dispatch (dari visi
keagungan Allah menuju kepada suatu kesadaran ketidaklayakan, sampai kepada
kesiapan untuk diutus).[6] Ketika
Allah berkata, “Siapakah yang akan Kuutus dan siapakah yang akan pergi untuk
Kami,” Yesaya tanpa menunda lantas menjawab, “Ini aku, utuslah aku.” Dirinya terlalu terstimulir oleh kisah dan pemandangan
itu, dan karena itu, dia tidak mungkin diam. Paulus berkata hal yang sama di hadapan raja Agripa: “Sebab itu, ya raja Agripa,
kepada penglihatan yang dari sorga itu tidak pernah aku tidak taat,” (Kis. 26:19).
Daftar Pustaka
Anderson,
Benedict. Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Edisi Revisi, London:
Verson, 2006.
Brueggemann, Walter. Isaiah.
Vol. 1, Chapters 1-39 (Westminster Bible Companion). Louisville,
KY: Westminster John Knox Press, 1998.
Lewis, C.S. The Weight of Glory. New York:
HarperCollins, 1980.
MacDonald,
George. “The Imagination: Its Function and Its
Culture.” Dalam A Dish of Orts. London: Sampson, Low,
Maston & Co., 1895.
Smith,
James. Imagining the Kingdom: How Worship
Works. Grand Rapids: Baker, 2013.
[1]. Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism,
Edisi Revisi (London: Verson, 2006), 6.
[2]. Anderson, Imagined Communities, 6.
[3]. George MacDonald, “The Imagination: Its Function and Its Culture,” di dalam A Dish of Orts (London: Sampson, Low, Maston & Co., 1895), 2.
[4]. C. S. Lewis, The Weight of Glory (New York: HarperCollins, 1980), 134.
[5]. Dikutip oleh James Smith, Imagining the Kingdom: How Worship Works
(Grand Rapids: Baker, 2013), 17.
[6]. Walter Brueggemann, Isaiah, vol. 1, Chapters
1-39 (Westminster Bible Companion) (Louisville, KY: Westminster John
Knox Press, 1998), 60.
0 komentar:
Posting Komentar