"Menjadi Pusat Belajar dan Pengembangan Pelayanan Kaum Muda di Indonesia" Melakukan penelitian dan kajian pelayanan kaum muda dengan basis teologi dan menyediakan sumber belajar bagi pengembangan pelayanan kaum muda.

Sabtu, 01 November 2014

CHURCH AS A REDEMPTIVE COMMUNITY



CHURCH AS A REDEMPTIVE COMMUNITY
Irwan Hidajat


Gereja dan Identitasnya
Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari, Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan. (Kis 2:41-47)

Setiap kali kita berbicara mengenai hakikat dari keberadaan gereja, maka tidak mungkin kita melewatkan nas yang amat penting yang dicatat oleh Lukas di dalam kitab Kisah Para Rasul, yang menjelaskan tentang eksistensi gereja mula-mula. Perikop yang mencatat tentang cara hidup gereja mula-mula itu, diawali dengan sebuah keterangan penting: “Orang-orang itu … memberi diri mereka dibaptis.” Siapakah mereka ini sebenarnya? Jika kita menelusuri baik-baik kisahnya, kita segera mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi yang saat itu berdiam di Yerusalem (2:5), yang sedang mendengarkan khotbah Petrus yang berisi penjelasan mengenai apa yang terjadi atas murid-murid di hari Pentakosta dan juga kebenaran mengenai Yesus, yang adalah Tuhan dan Kristus, yang telah mereka salibkan. Keterangan ini menjelaskan tentang latar belakang identitas dari gereja mula-mula, yakni bahwa mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang mata hatinya telah dibutakan, sehingga tidak mampu melihat kebenaran, dan karenanya mereka menyalibkan Yesus, Tuhan dan Juruselamat.
Catatan berikutnya yang ditulis oleh Lukas di ayat 37-41 memperlihatkan adanya suatu perubahan yang sangat radikal yang terjadi dan dialami oleh orang-orang ini. Setelah mendengar khotbah dan penjelasan Petrus, mereka bukan saja menjadi terharu dan bertanya tentang apa yang harus mereka lakukan, namun suatu langkah besar terjadi: mereka memberi diri dibaptis. Dari semua keterangan ini, kita menemukan jawaban pertama atas pertanyaan “siapakah gereja itu sebenarnya? Mereka yang menyalibkan Yesus, kini menjadi percaya dan bahkan memberi diri dibaptis. Keterangan ini sejalan dengan makna yang terkandung di dalam istilah Yunani έκκλησια (baca: ekklesia, lit: calling out). Istilah ini selalu menjadi rujukan untuk memahami makna tentang keberadaan gereja, yakni bahwa gereja secara naturnya merupakan orang-orang dengan hidup masa lalu yang gelap, namun telah dipanggil keluar dari kegelapan hidup, dan mengalami penebusan yang memampukan mereka untuk melihat terang anugerah Allah (bdk. 1Ptr. 2:9). Jadi, “siapakah gereja” itu sebenarnya? Gereja adalah orang-orang yang telah ditebus (reedemed) oleh Allah. Jika demikian, komunitas gereja dipahami sebagai komunitas orang yang telah mengalami karya penebusan yang telah dikerjakan oleh Allah (Redeemed Community).
Hal kedua yang kita amati dari catatan Lukas di dalam kitab ini, memberikan kepada kita suatu gambaran mengenai sisi lain tentang identitas gereja. Gereja mula-mula nampak sebagai gereja yang sangat antusias dalam memperhatikan kondisi dan kebutuhan orang lain dan secara proaktif berupaya untuk melakukan sesuatu bagi orang lain: “... dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (2:45), “... mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (4:32). Bukan saja mengenai semangat atau gairah di dalam melayani orang lain, namun di balik itu semua, ada suatu kesadaran tentang siapa diri mereka (identitas) yang dibuktikan dari apa yang harus mereka lakukan dalam jati diri semacam itu. Mereka ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah mengalami penebusan yang dikerjakan oleh Allah, yang tidak boleh berhenti dan berpuas diri dalam kondisi itu, melainkan selalu sadar bahwa Allah juga mengutus mereka untuk menjadi agen penebusan (redemptive agent) yang membebaskan bagi dunia. Di sini nampak sisi lain dari identitas gereja. “Siapakah gereja” itu? Gereja adalah orang-orang yang diutus Allah untuk menjadi agen penebusan bagi dunia (bdk. 1Pet. 2:9) Komunitas gereja dipahami sebagai komunitas yang diutus Allah untuk mewujudnyatakan karya penebusan Allah bagi dunia (Redemptive Community).

Gereja sebagai Redemptive Community
                Apa yang dijelaskan Lukas tentang gereja mula-mula, diawali dengan sebuah keterangan mengenai “orang-orang.” Hal ini menjelaskan natur dari gereja yang paling mendasar, di mana gereja dipahami bukan secara fisik (bangunan, gedungnya) ataupun organisasinya. Gereja pada dasarnya merupakan organisme yakni: komunitas orang percaya. Apakah yang kita pahami dengan komunitas itu? Hermawan Kartajaya pernah menuliskan suatu definisi yang cukup baik tentang hal itu. Menurutnya komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, di mana di dalamnya terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota karena adanya kesamaan interest atau values.[1] Berdasarkan pengertian itu, rupanya karakteristik “relasi yang erat” (deep interpersonal relationship) dan “saling peduli” (care) secara mendasar merupakan natur alamiah yang harus dimiliki oleh sebuah gereja sebagai suatu komunitas. Sehingga, bukan hanya karena pengenaan label “Redemptive Community” pada gereja yang membuat gereja memiliki kepedulian terhadap sesama, tetapi sesungguhnya sebagai sebuah komunitas, gereja memang memiliki karakteristik menebus (redemptive).
Church as a Redemptive Community is a beautiful picture of community where the broken find wholeness, the sick find healing, the lonely find a sense of belonging, the poor find empowerment and the lost find salvation.[2]
Namun dalam kenyataannya, realitas keberadaan gereja tidaklah secara otomatis membuktikan kebenaran itu. Scott Hanberry dalam tulisannya berpendapatMost church planters would emphatically affirm the need for building community, yet in their quest to build a congregation or to draw a crowd, they often neglect Biblical community.[3] Cukup memprihatinkan di masa kini adalah fokus para pemimpin gereja bukan lagi membangun komunitas yang menebus, tetapi lebih kepada membangun sebuah jemaat dengan menarik dan mengumpulkan sebanyak mungkin orang untuk datang, berkumpul dan “berkerumun” di dalamnya, tanpa kesadaran diri bahwa mereka adalah komunitas, tanpa adanya relasi yang erat dan hangat, tanpa adanya kepedulian yang ditunjukkan satu terhadap yang lain. Jika demikian maka di satu sisi ukuran gereja secara kuantitatif dianggap sebagai suatu keberhasilan yang membanggakan, namun di sisi lain, kualitas isinya dipertanyakan.
                Komunitas orang percaya yang seperti apa yang semestinya menjadi kenyataan dari keberadaan gereja? Gereja diutus untuk hadir di tengah-tengah dunia, dunia yang berada dalam dosa yang sudah mencemarinya dan juga mengikat dan membelenggunya. Ada banyak fakta kehidupan manusia yang tinggal dan hidup di dalam dunia semacam ini: ketakutan, rasa bersalah, kesedihan, kesakitan, penderitaan, rusaknya hubungan dan yang terutama hancurnya persekutuan dengan Tuhan.
Dalam dunia dengan realitas seperti itulah, gereja sebagai komunitas orang percaya diutus dan ditempatkan Tuhan untuk mengerjakan karya layanannya dengan setia, yakni untuk membawa kelepasan: untuk menebusIni berarti, di mana komunitas orang percaya hadir, di situlah seharusnya orang lain akan menjumpai dan mengalami penerimaan, pengampunan, penghiburan, kesembuhan, kelepasan dan pemulihan. Dengan demikian komunitas orang percaya di dalam gereja sungguh-sungguh menghadirkan “hidup dalam segala kepenuhannya” (Yoh. 10:10b) – sebagaimana yang dikatakan Tuhan Yesus – baik kepada bagian dari komunitas, maupun bagi dunia.

Kehidupan sebagai Karakteristik Utama Gereja
It is life and death that define Christ’s Church and His people. It is the possession of life that distinguishes a Christian from all other men.[4]
Lawrence Richards dalam bukunya yang berjudul Christian Education, membuka pembahasannya dengan mengatakan bahwa kehidupan-lah yang membedakan orang percaya (believer) dengan orang yang belum percaya (unbeliever)Richards menekankan bahwa gereja adalah komunitas orang percaya yang telah menerima kasih karunia Allah, yaitu hidup yang kekal. Itulah anugerah terbesar yang dapat gereja nikmati dan syukuri dari Allah. Namun, sesungguhnya kehidupan jugalah yang merupakan berkat terbesar yang dapat gereja bagikan kepada dunia.
Tujuan pemikiran ini jelas, sebagaimana Tuhan Yesus yang adalah Hidup itu sendiri mengatakan, “... supaya kamu memilikinya (hidup-red) dalam segala kelimpahannya” (Yoh. 10:10b). Kristus sang Hidup itu datang ke dalam dunia, di dalam misi dan pelayanan-Nya, untuk memberi kehidupan. Jika kita menelaah dengan cermat apa saja yang sudah Ia kerjakan di dalam karya penebusan-Nya (redemptive work), maka kita dapat melihat apa yang Yesus lakukan dalam 2 (dua) dimensi: dimensi firman dan dimensi perbuatan. Kedua hal ini nampak jelas dalam ayat di Matius yang menyebutkan, “Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.” (Mat 9:35). Ini berarti misi Yesus untuk membawa kehidupan bagi dunia yang sudah mati dan dikuasai oleh dosa ini, dinyatakan melalui kedua dimensi/bentuk tadi, yaitu firman dan perbuatan (Berita Injil yang membebaskan dan Pelayanan Kasih yang memulihkan).
Rupanya pola yang dilakukan oleh Yesus ini justru dengan nyata dipraktikkan oleh gereja mula-mula, yang bukan hanya sekedar melakukan banyak perbuatan baik dalam bentuk perbuatan kasih yang membuat “mereka disukai banyak orang” tetapi juga pemberitaan Injil yang pada akhirnya membuat “... jumlah mereka terus ditambahkan tiap-tiap hari dengan orang yang diselamatkan.” Fakta ini membawa suatu implikasi teologis dan praktis bagi keberadaan dan pelayanan yang gereja bisa lakukan di tengah dunia pada masa kini, yaitu bahwa gereja tetap diutus dan ditempatkan Tuhan untuk menghadirkan “kehidupan yang penuh” bagi dunia, dengan tetap setia pada tugas pemberitaan Injil dan bentuk-bentuk pelayanan yang menjawab kebutuhan otentik masa kini.

Komunitas Kaum Muda sebagai Gereja Masa Kini
Sebagai gereja masa kini, komunitas kaum muda Kristen, secara naturnya merupakan Redeemed Community, yang juga turut dipanggil untuk menjadi Redemptive Community, terlibat di dalam karya penebusan bagi dunia. Ada suatu “pekerjaan rumah” yang sangat besar bagi komunitas kaum muda Kristen untuk mengerjakan karya “penebusan” di zaman ini. Apalagi bila kita melihat kenyataan bahwa kaum muda Kristen hidup di tengah-tengah situasi dan kondisi orang-orang muda pada zaman ini dengan fenomena seperti: jerat pornografi, masalah seksualitas, isu-isu tentang pacaran dan pernikahan, belenggu narkoba, ikatan dengan kuasa gelap, sepak terjang dalam perintisan karier dan masa depan, dan juga relasi yang buruk baik dengan diri sendiri, keluarga, maupun teman-teman, dll.
Seharusnya hal-hal tersebut menjadi concern serius yang harus disadari dan dilihat oleh komunitas kaum muda Kristen sebagai bagian dari panggilan Allah bagi mereka dan juga kesempatan untuk menebus sesamanya dan dunianya. Terlebih lagi pergumulan-pergumulan semacam ini bukan hanya dialami oleh orang-orang muda di luar komunitas Kristen (mereka yang belum percaya), namun ternyata juga menjadi bagian persoalan yang dihadapi oleh anggota-anggota komunitas Kristen itu sendiri. Oleh karena itu, komunitas kaum muda Kristen ditugaskan dan dipanggil untuk menebus teman-teman muda yang lain, baik sesama anggota komunitas maupun orang-orang di luar komunitas, yang selama ini terbelenggu dalam kehidupan yang tidak mampu mereka lepaskan.
Namun apa yang terjadi selama ini? Rupanya individualisme telah menyusup masuk ke dalam kelompok Kristen dan menjadikan kelompok tersebut semata-mata hanya menjadi sebuah kerumunan yang datang dan berkumpul di dalam gereja. Karena hal tersebut, kelompok Kristen tanpa pernah menjadi komunitas dalam arti yang sesungguhnya, yakni manakala sebagai anggota komunitas kaum muda, kita tidak melakukan apapun untuk menebus sesama yang berada di dalam belenggu pergumulan hidupnya. Bahkan yang seringkali terjadi adalah: alih-alih menebus dan membebaskan mereka, kita lebih suka mengacuhkannya, mempergunjingkannya dan bahkan menghakiminya dengan semua perangkat hukum yang kita miliki di dalam standar nilai kekristenan kita.  Itulah sebabnya, Rick Warren di dalam bukunya yang sangat fenomenal yang berjudul The Purpose Driven Life mengatakan, “Fakta yang menyedihkan adalah bahwa seringkali domba-domba Kristus terluka bukan oleh serigala, melainkan oleh sesama domba.”[5]
Selama ini mungkin kita sangat bangga dengan ukuran jumlah anggota kelompok kaum muda di gereja/lembaga yang kita layani. Tetapi sadarkah kita, bila pembiaran semacam itu masih terjadi dan kita tidak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya, maka kelompok kaum muda yang kita layani tidak ubahnya hanya menjadi sebuah kerumunan yang berkumpul di gereja. Ini berarti, entah kita sadari atau tidak, sesungguhnya selama ini kelompok kaum muda tersebut tidak pernah menjadi sebuah komunitas yang menyembuhkan (healing), memulihkan (reconciling), mengubahkan (transforming) dan membebaskan (redeeming). Sejalan dengan pemahaman itu, Murray Robertson menegaskan, “Satu kritik tajam tentang keberadaan gereja pada zaman ini adalah bahwa gereja biasanya ingat bahwa dirinya harus membawa dan memberitakan kabar pembebasan (message of redemption) bagi dunia yang berdosa, namun jarang sekali menjadikan dirinya dan berperan sebagai agen pembebas (agent of redemption) bagi dunia.[6]

Karakteristik Redemptive Community
Komunitas Zoweh menyebutkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membangun komunitas untuk dapat menjadi Redemptive Community:[7]
1.                 Persekutuan harus dibangun dalam keakraban, secara otentik dan transparan.
Keakraban yang dimaksud bukan kedekatan di permukaan, apalagi kepura-puraan, melainkan suatu persekutuan yang akrab, yang sejati, yang asli, di mana setiap orang dapat tampil menjadi dirinya secara transparan, apa adanya. Dengan demikian, di antara anggota komunitas itu terbuka kesempatan untuk saling menajamkan, mengoreksi dan bertumbuh bersama ke arah yang lebih baik.
2.                 Upayakan kemuliaan seseorang (pemulihan yang membebaskan) dan jangan terpaku pada dosa atau kesalahannya.
Inilah karakteristik Redemptive Community yang paling mendasar, yakni bahwa upaya kita untuk menebus seseorang lebih difokuskan pada bagaimana cara untuk membawa orang itu mengalami pemulihan yang membebaskannya, dan bukan pada mencari kesalahan dan kemudian menghakiminya
3.                 Komunitas tidak dapat menggantikan tempat Allah dan apa yang hanya bisa disediakan oleh-Nya.
Satu hal utama yang perlu disadari oleh seluruh komponen dari komunitas, yakni bahwa sesempurna atau se-ideal apapun komunitas yang ada, tidak pernah boleh dan tidak pernah mampu untuk menggantikan tempat dan peranan Allah untuk memulihkan hidup seseorang.
4.                 Komunitas secara individu dan kolektif membutuhkan keintiman dengan Allah.
Sebagai konsekuensi logis dari prinsip di atas, maka kesanggupan komunitas untuk menebus seseorang, terletak pada sejauh seluruh komunitas secara personal dan komunal membangun relasi yang dekat dengan Allah (Yoh. 15:5b)
5.                 Ukuran komunitas yang relatif kecil (terbatas).
Secara proporsional, semakin kecil ukuran sebuah komunitas, akan membawa dampak positif dalam membangun persekutuan yang efektif di dalamnya.
6.                 Komunitas yang di dalamnya setiap orang dapat menjalani kehidupan bersama-sama (berdoa, bermain, makan, beribadah, berbagi, dll).
Komunitas dibangun supaya tiap orang di dalamnya dapat menjalani hidup bersama. Setiap orang tetap melakukan aktivitas dan pekerjaan masing-masing, tetapi dalam semuanya itu, mereka memiliki kesadaran bahwa ada saudara-saudara yang berjalan bersama-sama mereka, yang ada dan tersedia untuk mereka, yang siap membantu dan mengangkat mereka bila jatuh, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih baik.
7.                 Membangun komunitas tidak mungkin bisa dicapai dalam satu hari, satu waktu atau pada satu tempat tertentu saja (membutuhkan proses dan berbagai konteks pengalaman kehidupan).
Sebagai tindak lanjut dari prinsip di atas, maka untuk membangun komunitas semacam ini tidak mungkin dilakukan dalam sekejap. Butuh proses seiring dengan berjalannya waktu, agar komunitas ini semakin lama semakin solid, dan juga butuh banyak pengalaman yang menjadi konteks pembentukan komunitas dan setiap orang di dalamnya.
8.                 Setiap orang sebagai bagian dari komunitas penting untuk berkontribusi dan berperan.
Dalam sebuah komunitas, setiap orang berperan penting dan memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi bagi sesama anggota lain dan bagi komunitas secara keseluruhan. Hal ini senada dengan apa yang menjadi prinsip Paulus dalam 1 Korintus 12, di mana Paulus memakai metafora tubuh dengan anggota-anggotanya.
9.                 Setiap orang memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk dapat menawarkan dan membagikan apa yang ia miliki.
Bukan hanya soal tanggung jawab, namun tiap anggota memiliki hak (kesempatan) untuk berkontribusi dan berperan bagi anggota yang lain dan bagi komunitas secara menyeluruh.
10.             Sebuah tempat yang aman dan dapat dipercaya, di mana kebutuhan hati dan jiwa yang paling mendasar dapat disentuh/dijamah.
Pada akhirnya komunitas yang menjadi Redemptive Community akan menjadi seperti sumber mata air, di mana tiap orang yang sedang mengalami dahaga dalam pengembaraan hidup dan pergumulan yang dihadapinya, dapat menemukan kelegaan dan kesegaran kembali untuk melanjutkan perjalanan hidupnya ke depan.


Potensi Kaum Muda
                Memang tidak mudah untuk membangun komunitas yang memiliki karakteristik demikian. Namun kaum muda sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk mewujudkan komunitas semacam itu, beberapa di antaranya ialah:[8]
  1. Idealisme dan Daya Kritis
Orang-orang muda memiliki idealisme yang cukup tinggi. Umumnya kaum muda tidak akan merasa puas untuk menerima sesuatu begitu saja sebagaimana adanya. Idealisme menggerakkan mereka untuk dengan kritis melihat situasi dan kondisi yang ada pada saat ini, dan berjuang untuk meraih apa yang mereka impikan. Jika visi Redemptive Community dan dampak yang bisa ditimbulkannya, dibukakan kepada kaum muda, maka hal tersebut akan menjadi suatu kekuatan yang menggerakkan mereka untuk membangun dan mengembangkan komunitas yang ada pada saat ini untuk menjadi komunitas yang berdampak.
  1. Dinamis, Kreatif dan Bersemangat
Orang-orang muda penuh dengan dinamika. Mereka tidak pernah akan tinggal diam. Mereka sangat bersemangat dan dengan kreatif bekerja menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Redemptive Community bukan sekedar impian. Jika kaum muda dibimbing, dimotivasi dan digerakkan untuk mewujudkannya, mereka pasti bisa memperjuangkannya agar menjadi kenyataan dalam komunitas mereka
  1. Kemandirian dan Keberanian Mengambil Resiko
Masa muda adalah periode awal seseorang memasuki masa dewasa. Hal itu berarti kaum muda memiliki kemandirian di dalam diri mereka. Kemandirian untuk mengambil keputusan, untuk melakukan sesuatu demi memperjuangkan apa yang dicita-citakannya. Dalam kemandirian itu ada sebuah keberanian untuk mengambil resiko, untuk keluar dari zona nyaman mereka, masuk dan menyelami pergumulan orang lain serta melakukan sesuatu untuk kebaikannya. Kemampuan, kesediaan dan kelenturan ini mutlak dibutuhkan oleh agen-agen pembebas (Redemptive Agent) dalam upaya untuk membebaskan sesamanya.
  1. Terdidik dan Menguasai Ilmu dan Teknologi
Kaum muda adalah orang-orang yang melek ilmu dan teknologi. Kemampuan ini tentunya memiliki sumbangsih yang sangat besar dalam upaya membangun komunitas yang solid dan membawa dampak bagi banyak orang.
  1. Keragaman
Hanya orang yang berpikiran sempit yang melihat keberagamaan sebagai sebuah ancaman. Keberagaman kini dipandang sebagai sebuah kekayaan dan potensi. Demikian juga dengan komunitas kaum muda dengan segala keberagamannya (latar belakang pendidikan, keahlian, keterampilan, bakat, talenta, karunia, minat, kepribadian, pengalaman, dll), semua ini memainkan peranan yang sangat penting dalam membangun komunitas yang saling mengisi untuk kebaikan bersama.
Yang menjadi masalah sekarang adalah: Sejauh mana potensi ini digali dan diberdayakan untuk menciptakan komunitas kaum muda di gereja atau lembaga kita agar menjadi komunitas yang menebus?
Pengaruh yang Dapat Diberikan
Dengan segala potensi yang ada, seberapa besarkah pengaruh yang dapat diberikan oleh komunitas kaum muda Kristen manakala mereka memainkan peran mereka dan membangun komunitas mereka menjadi Redemptive Community? Jika kita melihat catatan tentang gereja mula-mula, di sana disebutkan bahwa “pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa” dan “tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang-orang yang diselamatkan.” Apa kira-kira yang ada di dalam benak dan pikiran anggota gereja mula-mula, ketika dalam satu hari ada tiga ribu orang percaya baru yang ditambahkan ke dalam komunitas mereka dan masih terus bertambah tiap harinya? Tentu saja mereka gembira dan takjub, tetapi di sisi yang lain, memang itulah buahnya!
Bagi komunitas kaum muda, dampaknya sangat jelas. Bila komunitas itu memainkan peranannya sebagai komunitas yang menebus, yang menjadi berkat dan membawa sebuah transformasi positif di dalam hidup orang lain, maka tidak dapat dielakkan lagi, tentu banyak orang-orang muda yang tertarik untuk menjadi bagian dari komunitas itu. Transformasi tersebut bukan hanya menyangkut soal perubahan secara kuantitatif semata. Itu hanya efek dan akibat, yang terlihat secara sepintas. Dampak yang jauh lebih penting adalah bahwa komunitas kaum muda di gereja atau lembaga kita telah belajar dan mengalami secara riil hidup sebagai komunitas secara nyata. Dengan demikian, eksistensi komunitas kaum muda kita benar-benar menjadi berkat dan disukai (bukan hanya “ada” dan “banyak”) dan menorehkan transformasi yang berdampak besar dalam hidup seseorang.
And sadly many churches, although faithfully seeking to preach the gospel, experience an annual decline in attendances with a steadily aging congregation.[9]
Dampaknya juga bisa dirasakan oleh gereja di mana komunitas kaum muda berada, karena tidak mustahil komunitas kaum muda akan menjadi pelopor dan penggerak dari suatu perubahan dan kebangunan di dalam sebuah gereja lokal. Bahkan komunitas kaum muda menjadi sebuah komunitas yang menular (Contagious Community) bagi gereja, sehingga pada akhirnya gereja juga dapat menjalankan perannya sebagai Redemptive Community.

Epilog: Sebuah Refleksi
Yang menjadi refleksi bagi kita adalah: Apa fokus kita?
·                    Apakah kita akan menjadikan ukuran kehadiran kaum muda dalam aktivitas-aktivitas yang diselenggarakan, sebagai satu-satunya barometer utama untuk mengukur keberhasilan pelayanan kaum muda di gereja? Atau sebaliknya, fokus pada kualitas yang ditawarkan oleh komunitas kaum muda di gereja, di mana pada akhirnya, ukuran kuantitas akan menjadi konsekuensi logis yang mengikutinya?
·                    Bagaimana dengan ibadah (format dan gaya), khotbah-khotbah yang disampaikan, pemanfaatan media-media sosial: apakah semuanya itu ditujukan semata-mata demi “menjaring” lebih banyak orang untuk datang dan bergabung ke dalam komunitas kaum muda di gereja kita, sehingga anggota jemaat menjadi lebih banyak? Atau justru ibadah-ibadah dan pemberitaan Firman Tuhan, ditujukan untuk memberikan pengajaran yang benar agar kaum muda semakin mengerti panggilan Tuhan untuk “menebus” yang “terbelenggu”? Juga fasilitas media sosial benar dioptimalkan bukan hanya semata untuk “mendongkrak” jumlah kehadiran, tetapi demi efektivitas tugas penjangkauan?
·                    Jay Haug dalam The Church as a redemptive Community[10] menyinggung soal keKristenan di Amerika yang dianggap terlalu individualistis. Jargon yang didengungkan adalah “Jesus, My Bible and Me” yang memperlihatkan individualistik orang Kristen yang terbukti nyata bahwa keKristenan tidak membawa dampak yang signifikan dalam hidup masyarakat. Satu tantangan bagi komunitas kaum muda sebagai komunitas yang menebus adalah bersediakah untuk belajar fokus pada kondisi dan kebutuhan orang lain? Hal ini menjadi sebuah insight yang baik bagi kurikulum pembimbingan dan pembinaan bagi kaum muda, untuk melatih dan memberdayakan mereka sebagai agent of redemption yang dengan peka melihat dan memperhatikan kebutuhan orang lain, serta berupaya untuk memenuhinya berdasarkan firman dan kasih Kristus.
·                    Sebagaimana karya penebusan (redemptive work) Kristus memiliki 2 dimensi yang saling terkait erat dan menjadi sebuah kesatuan yang utuh:
§   Memberitakan Injil Kerajaan Sorga demi kelepasan mereka yang dibelenggu dosa.
§   Melayani, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan spesifik setiap orang dalam kasih (yang sakit, lapar, buta, terpinggirkan, dibebani rasa bersalah, dll).
Maka Redemptive Youth Community juga dipanggil untuk menjalankan misi penebusan secara utuh:
§   Kaum muda dipanggil untuk tetap memiliki hati untuk memberitakan Injil kepada generasinya.
§   Kaum muda dipanggil untuk melayani, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan sesamanya sebagai bentuk menghadirkan “hidup dalam segala kepenuhannya.
Sebagai penutup, marilah kita mengingat bahwa kaum muda bukan sekedar gereja masa mendatang, tapi juga gereja masa kini. Mereka adalah orang-orang yang dipanggil, ditebus dan dikhususkan oleh Tuhan untuk menjadi umat atau komunitas Allah. Sebagai komunitas yang telah ditebus di dalam Kristus, komunitas kaum muda seharusnya memiliki cara hidup dan berkomunitas sebagaimana layaknya sebagai orang-orang yang telah ditebus. Komunitas ini juga harusnya menjadi tempat di mana anggota-anggota baru mengalami penebusan Kristus lewat kehidupan berkomunitas yang menyembuhkan, memulihkan, membangun, menguatkan, dan memuliakan Tuhan.




1. Hermawan Kartajaya, New Wave Marketing: The World is Still Around, The Market is Already Flat (Jakarta: Gramedia, 2008), 161.
2. Murray Robertson, “The Church As Redemptive Community”, http://www.leadernet.org.nz/files/docs/the%20church%20as%20redemptive%20community.pdf (diakses 24 Mei 2014).
3. Scott Hanberry, “Redemptive Community, http://one8.org/2012/01/redemptive-community-pt-1/ (diakses 24 Mei 2014).
4. Lawrence Richards, Christian Education (Grand Rapids: Zondervan, 1988), 13.
5. Rick Warren, The Purpose Driven Life (Malang: Gandum Mas, 2005), 184.
6. Murray Robertson, “The Church As Redemptive Community”, http://www.leadernet.org.nz/files/docs/the%20church%20as%20redemptive%20community.pdf (diakses 24 Mei 2014)
8. Andre, “Masalah dan Potensi Generasi Muda”, http://generasimudabangsa.blogspot.com/2011/03/masalah-dan-potensi-generasi-muda.html (diakses 24 Mei 2014)
9. Murray Robertson, “The Church As Redemptive Community”, http://www.leadernet.org.nz/files/docs/the%20church%20as%20redemptive%20community.pdf (diakses 24 Mei 2014).
10. Jay Haug, “The Church as a Redemptive Community, http://www.virtueonline.org/church-redemptive-community (diakses 24 Mei 2014).