Hiasan orang muda ialah kekuatannya, dan keindahan orang tua ialah uban (Ams. 20:29)
William Gunawan, S.Psi., M.Min., M.Si.
Pertanyaan Besar: Menjangkau Kaum Muda
Salah satu pertanyaan besar bagi gereja, pelayanan kaum muda dan para pelayan kaum muda adalah bagaimana menjangkau kaum muda. Kaum muda masa kini dihujani dengan berbagai perubahan sangat cepat yang terjadi dalam area budaya, kemajuan teknologi dan kehidupan spiritual. Dewan Kepausan untuk Kebudayaan Vatikan bahkan menjadikan hal ini sebagai penekanan pada pelayanan mereka.[1] Bagaimana gereja harus mempersiapkan generasi muda saat ini untuk memiliki hidup yang bermakna dan menjadi pengikut Kristus yang setia dalam zaman yang berubah dengan cepat saat ini? Bagaimana para pelayan kaum muda membangkitkan potensi kaum muda untuk menjangkau kaum muda dalam budaya kontemporer?
Budaya Kaum Muda yang Baru
Budaya kaum muda memiliki kekhususan tersendiri yang membedakannya dengan budaya secara umum. Erwin mengatakan, pada awalnya kebudayaan kaum muda merupakan suatu sub-budaya sebagai reaksi sekelompok orang kepada budaya besar yang mendominasinya.[2] Namun kemudian sub-budaya tersebut tumbuh dan berkembang dengan sendirinya karena kaum muda terlibat aktif dalam membentuk dan mengisi kebudayaan khas mereka itu sendiri.
Kebudayaan kaum muda yang menjadi fokus utama untuk perlu dipahami oleh gereja dan para pelayan kaum muda adalah tren, mode dan gaya dari generasi muda zaman sekarang. Bagaimanakah gambaran tren, mode dan gaya dari generasi saat ini? Penelitian dari Barna Group dan penelitan pasar dari McCrindle memberikan kita sedikit gambaran tentang kondisi budaya kaum muda masa kini.
Generasi muda yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah generasi yang lahir antara tahun 1984 – 2002, yang pada saat ini berusia 12 sampai 30 tahun. Bagi para peneliti perkembangan generasi, generasi ini disebut sebagai Y, generasi Milenial atau menurut istilah Barna Group disebut sebagai generasi mosaik karena mencerminkan hubungan yang eklektik (suka memilih dari berbagai sumber).
Generasi Y
Kaum muda masa kini, menurut penelitian McKrindle[3] memiliki karakteristik khusus. Generasi ini sangat dipengaruhi oleh teman sebaya dan mengambil keputusan berdasarkan usulan dari kelompok teman inti mereka yang biasanya terdiri dari 3-8 orang. Mereka tidak mengambil keputusan hanya berdasarkan nilai mereka tetapi juga berdasarkan kesepakatan umum atau nilai komunitas. Generasi Y juga mendapatkan kemudahan akses untuk mendapatkan berbagai informasi yang mereka butuhkan untuk memecahkan masalah atau mengambil keputusan. Dan seiring dengan berkembangnya media sosial, semua petunjuk dan jawaban atas pertanyaan mereka bisa didapatkan dari media sosial dan pendapat orang-orang lain, termasuk para ahli, teman sebaya maupun kesepakatan umum. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang sangat menghormati figur otoritas seperti orangtua dan pendeta untuk mendapatkan informasi. Cukup mengetik infomasi yang kita perlukan di layar pencarian, maka mesin pencari seperti Google, Yahoo, Bing dan lainnya akan memberikan jawaban.
Generasi Y juga merindukan relasi yang lebih dari sekedar persahabatan biasa. Mereka membutuhkan komunitas agar bisa dimengerti, diterima, dihargai dan menjadi bagian di dalamnya. Penelitian McCrindle menunjukkan fakta generasi Y yang banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman sebayanya. Namun mereka seringkali gagal menemukan kesejatian dan penerimaan tidak bersyarat dari teman-temannya. Mereka berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan dan diterima teman-temannya sehingga seringkali memunculkan perilaku buatan yang menjadikan mereka sebagai orang-orang munafik dengan berbagai macam topeng yang mereka pakai. Pada saat semua anak muda lainnya dari generasi Y menampilkan perilaku seperti ini, maka kebohongan, penipuan, kepalsuan yang mereka tampilkan menjelma menjadi suatu kepalsuan besar yang mereka hadapi dan mereka jalani. Mereka mau tak mau harus berperilaku demikian agar bisa diterima dan menjadi bagian dari komunitas. Apakah gereja dan pelayanan kaum muda mampu menjadi komunitas yang menjawab kebutuhan mereka? Apakah komunitas gereja mampu menampilkan perlilaku yang tulus tanpa kepalsuan?
Generasi Terhilang
David Kinnaman, peneliti dari Barna Group, menguraikan hasil temuannya yang mengejutkan berdasarkan penelitian kepada 52,496 anak muda berusia 18-29 tahun di Amerika.[4] Kinnaman menjelaskan terjadinya fenomena dropout di gereja yang melanda pemuda Amerika. Menurutnya, orang-orang muda yang meninggalkan gereja bisa menjadi generasi yang terhilang karena tiga cara utama :
· Nomads (pengelana): tidak terlibat dalam gereja tapi masih menganggap diri mereka orang Kristen.
· Prodigals (anak yang hilang): kehilangan iman, menggambarkan diri mereka bukan lagi orang Kristen.
· Exiles (orang buangan): masih tertanam dalam iman Kristen mereka tetapi merasa terjebak (tersesat) di antara gereja dan iman.
Ketiga kelompok anak muda yang terhilang ini tidak meninggalkan iman mereka, tetapi mereka hanya “cuti” dari keterlibatan mereka di dalam gereja. Hasil studinya juga menemukan, secara garis besar, kebanyakan orang Kristen, dan bukan hanya orang percaya muda saja, kurang mempunyai pengetahuan Alkitab, doktrin, dan pengetahuan tentang sejarah gereja yang cukup.
Tiga arena utama yang menunjukkan adanya fenomena ini adalah :
1. Hubungan. Berkat kemajuan dan penetrasi dari jejaring sosial, hubungan menjadi suatu kepastian yang dimiliki, bukan lagi sekedar kemungkinan-kemungkinan generasi mosaik mudah berhubungan dengan teman sebayanya dan memiliki hubungan positif dengan keluarga mereka. Namun pada saat yang sama, mereka memisahkan diri dari orangtua dan orang dewasa lainnya dalam bidang iman dan spiritualitas. Anak muda merasa bahwa orang dewasa tidak memahami kegalauan hati dan kecemasan mereka. Dalam konteks Indonesia, sedikit sekali anak muda berusia 18-29 tahun yang berada di dalam gereja dan terlibat aktif dalam pelayanan gerejawi. Jikalau ada, maka pelayanan remaja dan pemuda akan menjadi gereja di dalam gereja yang tidak memiliki hubungan dengan gereja dan komunitas lainnya di dalam gereja. Hubungan yang tercipta hanyalah hubungan formal yang membosankan, kaku dan hanya di permukaan. Remaja dan pemuda memerlukan hubungan mendalam yang diwujudkan melalui persahabatan mentoring dari orang yang lebih dewasa atau berpengalaman yang bersedia berbagi hidup dengan mereka.
2. Karier profesional. Arena kedua adalah karier profesional, perjumpaan antara iman dan panggilan yang sering terabaikan. Banyak anak muda Kristen terpanggil untuk melayani dalam bidang-bidang utama kehidupan seperti menjadi ilmuwan, dokter, pendidik, ahli psikologi, ahli hukum, ahli keuangan dan lain-lain. Tapi kebanyakan dari mereka tidak mendapat panduan bagaimana mengaitkan antara visi misi hidup mereka secara professional dengan iman mereka di dalam Kristus. Pembahasan topik-topik seputar rencana karier, pemilihan jurusan, perencaaan hidup dan bagaimana mengaitkan misi hidup mereka merupakan pembahasan yang jarang dilakukan. Akibatnya, pada saat kaum muda yang berada dalam usia produktif itu bekerja mewujudkan mimpi kehidupan mereka, iman dan kehidupan gereja terasa asing dan mengganggu. Akibatnya lebih merugikan gereja, karena gereja kehilangan orang-orang kreatif, pemimpin, dan orang-orang muda dinamis yang mampu menggerakkan gereja ke arah pertumbuhan yang lebih cepat dan baik.
3. Hikmat. Arena terakhir yang perlu dipikirkan dengan serius adalah dalam membantu generasi muda untuk menghargai hikmat lebih dari sekedar informasi. Serangan deras informasi melalui berbagai media dan alat komunikasi modern menjadikan generasi mosaik sebagai generasi yang memiliki akses pengetahuan terluas dan terbanyak dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Sayangnya, banyak kaum muda yang lebih terbiasa dan bisa menjadi konsumen informasi dibanding orang berhikmat. Contohnya, banyak anak muda Kristen mengagumi kata-kata dan karya Yesus (informasi) tetapi tidak tahu dan tidak setuju bahwa Yesus adalah Tuhan (hikmat). Orang Kristen muda kehilangan kemampuan untuk mewujudkan firman yang mereka pelajari di Alkitab menjadi Firman hidup yang mengubahkan.
Menyikapi Budaya Kaum Muda
Generasi ini hilang karena ketidakmampuan gereja dan para pelayan kaum muda untuk membaca kebudayan. Tetapi hal ini juga mungkin terjadi karena sikap yang dimiliki terhadap kebudayaan. Richard Neibuhr menuangkan karya teologisnya yang diakui beberapa kalangan sebagai karya yang paling berpengaruh tentang kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture.[5] Ia menjelaskan sikap orang Kristen terhadap kebudayaan. Melanjutkan pemikiran Neibuhr, Andy Crouch merumuskan ulang lima sikap yang bisa kita pilih sebagai seorang Kristen dalam menyikapi kebudayaan:[6]
(1) Mengutuki Kebudayaan : Kaum fundamentalis. Kelompok ini bersikap curiga dan menghakimi kegiatan manusia yang tidak eksplisit didukung oleh Alkitab dan dilakukan oleh orang Kristen yang telah bertobat. Mereka membuat jarak dengan kebudayaan. Bagi beberapa kelompok pelayan kaum muda yang pemimpinnya berasal dari generasi sebelum mereka, hal ini muncul lewat beberapa larangan dan pembatasan terhadap hal-hal sekuler yang harus dihindari, misalnya : dilarang nonton bioskop, dilarang berpacaran sesama pelayan atau pengurus, dilarang ke kafe, dll.
(2) Mengkritik Kebudayaan . Kelompok neo-evangelical bersikap lebih halus karena sudah memahami keterbatasan dari sikap menghakimi budaya. Kaum muda yang dibatasi dan dilarang seringkali menabrak batasan-batasan yang ada karena sifat keingintahuan dan natur pemberontak mereka. Kesadaran ini berbuah pada upaya untuk berdialog dan berpikir tentang kebudayaan. Para pemimpin kaum muda yang menganut sikap ini akan mengajak kaum muda untuk menganalisis dengan penuh nuansa akademis dan kognitif untuk menentukan sikap mereka selanjutnya. Kelompok ini akan bersikap kritis terhadap bioskop, musik, seni, dan produk budaya lainnya tanpa harus terlibat dalam hingar bingar kreativitas kebudayaan dalam dunia yang dinamis ini.
(3) Meniru Kebudayaan. Gerakan Yesus (Jesus Movement) adalah representasi dari sikap ini. Alih-alih mengembangkan sikap menolak atau mengkritisi kebudayaan, Gerakan Yesus pada tahun 1970 memberikan kesempatan bagi anak muda dan pemimpin kaum muda untuk menikmati kebudayaan. Anak-anak muda Kristen yang memiliki rambut klimis dengan kemeja rapi sekarang tampil beda dengan rambut gondrong dan pakaian santai sperti kemeja Hawaii dan celana cut-bray. Musik mereka berubah dari musik klasik ke arah swing, jazz, hip hop bahkan rock. Di Indonesia fenomena ini muncul dengan beberapa gereja yang bahkan merancang ibadah kaum muda tak ubahnya seperti pertunjukan musik lengkap dengan kemegahan system suara, tata panggung dan bintang penyanyinya.
(4) Memakai Kebudayaan. Gerakan ini muncul lewat karya sekelompok artis dan seniman Kristen yang menanamkan pengaruh dan penetrasi nilai mereka dengan menghasilkan ciptaan kebudayaan. Kelompok inilah yang muncul dengan gerakan membuat film-film yang memberitakan ulang pesan Injil dengan bentuk sinematika. Beberapa contoh yang jelas adalah film Spiderman dan The Transformer. Di Indonesia gerakan ini mulai berkembang dengan munculnya beberapa sineas muda Kristen dan ajang lomba pembuatan video pendek dengan tema Kekeristenan.
(5) Mentransformasi Kebudayaan. Sikap ini merupakan pandangan dari Neibuhr yang menunjukkan suatu sikap proaktif untuk mengubah kebudayaan. Neibuhr berpendapat bahwa kodrat manusia telah jatuh dan rusak, dan penyimpangan tersebut tidak saja muncul dalam kebudayaan, tetapi juga diteruskan melaluinya. Kristus mempertobatkan manusia dalam kebudayaan dan masyarakat, bukan lepas darinya, sebab tidak pernah ada kodrat tanpa kebudayaan dan tidak ada perubahan hidup manusia dari dirinya sendiri.[7]
Upaya mentransformasi kebudayaan bukan merupakan suatu proses yang mudah. Andy Stanley mengilustrasikan proses ini melalui postur dan gestur. Orang-orang Kristen harus memiliki suatu postur, suatu sikap dasar yang kita pelajari, suatu sikap alami, sepanjang hidup kita. Namun demikian juga perlu mengembangkan gestur, gerak gerik tubuh untuk menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Postur dan gestur yang kita bangun selanjutnya akan membantu kita dalam mengenali kebudayaan, sampai akhirnya mampu mengubah kebudayaan.
Prinsip menjangkau Kaum Muda (Generasi Y) :
McCrindle[8] mengusulkan akronim 4R untuk bisa memahami kaum muda generasi Y: Real, Raw, Relevant, Relational.
(1) Real. Keaslian menuntut adanya kredibilitas, bukan hanya sekedar berbicara dengan jujur dan terbuka, tetapi juga sikap dan kepribadian yang sejati dan apa adanya, bukan ada apanya. Generasi Y tidak menuntut kita untuk masuk dan terlibat di dalam budaya mereka, tetapi cukup jika kita bisa memahami mereka dan meghormati mereka sebagaimana apa adanya mereka.
(2) Raw. Anak muda generasi Y memiliki akses kepada teknologi yang paling canggih, hingar bingar efek khusus film, kenikmatan video games yang sulit untuk bisa kita tandingi dan berbagai kemudahan teknologi lainnya. Namun justru yang menarik adalah kaum muda ini memerlukan sesuatu yang lebih mentah, yang masih asli dan sederhana di dalam menjalin relasi dan berkomunikasi. Mereka sudah mendapatkan semua kecanggihan dan merindukan suatu pendekatan yang lebih spontan, terbuka dan asli.
(3) Relevant. Apa yang kita komunikasikan kepada kaum muda haruslah sesuatu yang berkaitan dengan minat mereka. Gereja saat ini perlu memikirkan ulang bagaimana membahas topik2 yang berkaitan dengan kehidupan kaum muda secara lebih dalam, mengaitakan antara panggilan professional mereka dengan pelayanan dan bagaimana bergumul tentang masalah kehidupan secara nyata. Juga penting untuk memperhatikan bukan hanya sekedar isinya, tetapi juga cara penyampaian isi tersebut perlu disampaikan dengan relevan. Anak muda masa kini yang hampir 24 jam selalu melihat kepada layar (HP, Ipad, Televisi, Proyektor, Tab, dll.) tentunya akan lebih mudah menangkap ide yang disampaikan dengan cara yang sama, dibandingkan dengan khotbah tradisional yang menjemukan. Khotbah dengan berlandaskan dasar Fiman Tuhan yang kokoh, dengan penggalian dan pemaparan yang sangat jelas tentu akan lebih mengena jika disampaikan dengan tampilan yang menarik hati kaum muda.
(4) Relational. Pepatah lama mengatakan, “They don’t care how much you know until they know how much you care!” Pelayanan kaum muda yang berhasil adalah pelayanan yang bisa menjangkau hati mereka, peduli, bertanya, dan mendengar mereka. Gereja dan pelayan kaum muda perlu berlatih kembali membuka hati dan telinga untuk mendengar suara anak-anak muda yang terhilang ini.
(5) Radical. Poin terakhir ini merupakan tambahan penulis. Menjangkau generasi muda sekarang perlu mengajak mereka untuk berpikir, bersikap dan bertindak radikal. Radikal berasal dari kata “radix” yang artinya mengakar. Radikal berarti berakar kuat, tangguh dan kokoh. Kaum muda perlu memiliki hubungan yang berakar dengan Kristus, sehingga mampu bersikap dan bertindak radikal seperti Kristus. Dengan akar yang kuat, maka hembusan angin sekeras apapun akan sanggup dihadapi.
Kesimpulan
Mengenali kebudayaan kaum muda menjadi suatu keharusan bagi gereja dan pelayan kaum muda yang ingin melayani mereka dengan sepenuh hati. Dengan mengenali dan memahami mereka, maka kita akan mampu menggerakkan mereka untuk berkarya bagi Kristus. Dengan demikian doa Daud dalam Mazmur 145:4 akan terwujud : “Generasi demi generasi akan memegahkan pekerjaan-pekerjaan-Mu dan akan memberitakan keperkasaan-Mu.”
Kepustakaan:
Benediktus, Paus, Pontificium Consilium de Cultura http://www.cultura.va/content/cultura/en/magistero/papa/BenedictXVI/plenaria2013.html (diakses pada 2 September 2013).
Erwin, Pamela. A Critical Approach to Youth Culture:Its Influence and Implication for Ministry. Grand Rapids: Youth Specialties, 2010.
McCrindle, Mark. The ABC of XYZ: Generational Diversity at Work, http://www.quayappointments.com.au/email/040213/images/generational_diversity_at_work.pdf (diakses pada 29 September 2013).
Kinnaman, David. You Lost Me. Grand Rapids : Baker, 2011.
Niebuhr, Richard H. Christ and Culture. San Fransisco: Harper, 2001.
Crouch, Andy. Culture Making. Downers Grove: IVP, 2008.
McCrindle, Mark. Understanding Generation Y, http://ecweb.elthamcollege.vic.edu.au/principal/pdf/Understanding%20Generation%20Y.pdf (diakses 27 September 2013)
[1] Pontificium Consilium de Cultura dalam surat penggembalaan yang dikirimkan oleh Paus Benediktus XVI tertanggal 7 Februari 2013 memperingatkan bahwa Gereja Katolik akan menghadapi resiko kehilangan generasi masa depan jika Gereja tidak belajar bagaimana memahami orang muda, bahasa dan budaya mereka. http://www.cultura.va/content/cultura/en/magistero/papa/BenedictXVI/plenaria2013.html (diakses pada 2 September 2013)
[2] Pamela Erwin, A Critical Approach to Youth Culture:Its Influence and Implication for Ministry (Grand Rapids: Youth Specialties, 2010).
[3] Mark McCrindle, The ABC of XYZ: Generational Diversity at Work, http://www.quayappointments.com.au/email/040213/images/generational_diversity_at_work.pdf (diakses pada 29 September 2013).
[8] Mark McCrindle, Understanding Generation Y, http://ecweb.elthamcollege.vic.edu.au/principal/pdf/Understanding%20Generation%20Y.pdf (diakses 27 September 2013)
0 komentar:
Posting Komentar