"Menjadi Pusat Belajar dan Pengembangan Pelayanan Kaum Muda di Indonesia" Melakukan penelitian dan kajian pelayanan kaum muda dengan basis teologi dan menyediakan sumber belajar bagi pengembangan pelayanan kaum muda.

Jumat, 01 November 2013

MEMAHAMI BUDAYA KAUM MUDA


MEMAHAMI BUDAYA KAUM MUDA
Hiasan orang muda ialah kekuatannya, dan keindahan orang tua  ialah uban (Ams. 20:29)
William Gunawan, S.Psi., M.Min., M.Si.

Pertanyaan Besar: Menjangkau Kaum Muda
Salah satu pertanyaan besar bagi gereja, pelayanan kaum muda dan para pelayan kaum muda adalah bagaimana menjangkau kaum muda. Kaum muda masa kini dihujani dengan berbagai perubahan sangat cepat yang terjadi dalam area budaya, kemajuan teknologi dan kehidupan spiritual.  Dewan Kepausan untuk Kebudayaan Vatikan bahkan menjadikan hal ini sebagai penekanan pada pelayanan mereka.[1]  Bagaimana gereja harus mempersiapkan generasi muda saat ini untuk memiliki hidup yang bermakna dan menjadi pengikut Kristus yang setia dalam zaman yang berubah dengan cepat saat ini? Bagaimana para pelayan kaum muda membangkitkan potensi kaum muda untuk menjangkau kaum muda dalam budaya kontemporer?

Budaya Kaum Muda yang Baru
Budaya kaum muda memiliki kekhususan tersendiri yang membedakannya dengan budaya secara umum. Erwin mengatakan, pada awalnya kebudayaan kaum muda merupakan suatu sub-budaya sebagai reaksi sekelompok orang kepada budaya besar yang mendominasinya.[2] Namun kemudian sub-budaya tersebut tumbuh dan berkembang dengan sendirinya karena kaum muda terlibat aktif dalam membentuk dan mengisi kebudayaan khas mereka itu sendiri.
Kebudayaan kaum muda yang menjadi fokus utama untuk perlu dipahami oleh gereja dan para pelayan kaum muda adalah tren, mode dan gaya dari generasi muda zaman sekarang. Bagaimanakah gambaran tren, mode dan gaya dari generasi saat ini? Penelitian dari Barna Group dan penelitan pasar dari McCrindle memberikan kita sedikit gambaran tentang kondisi budaya kaum muda masa kini.
Generasi muda yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah generasi yang lahir antara tahun 1984 – 2002, yang pada saat ini berusia 12 sampai 30 tahun. Bagi para peneliti perkembangan generasi, generasi ini disebut sebagai Y,  generasi Milenial atau menurut istilah Barna Group disebut sebagai generasi mosaik karena mencerminkan hubungan yang eklektik (suka memilih dari berbagai sumber).

Generasi Y
Kaum muda masa kini, menurut penelitian McKrindle[3] memiliki karakteristik khusus. Generasi ini sangat dipengaruhi oleh teman sebaya dan mengambil keputusan berdasarkan usulan dari kelompok teman inti mereka yang biasanya terdiri dari 3-8 orang. Mereka tidak mengambil keputusan hanya berdasarkan nilai mereka tetapi juga berdasarkan kesepakatan umum atau nilai komunitas. Generasi Y juga mendapatkan kemudahan akses untuk mendapatkan berbagai informasi yang mereka butuhkan untuk memecahkan masalah atau mengambil keputusan. Dan seiring dengan berkembangnya media sosial, semua petunjuk dan jawaban atas pertanyaan mereka bisa didapatkan dari media sosial dan pendapat orang-orang lain, termasuk para ahli, teman sebaya maupun kesepakatan umum. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang sangat menghormati figur otoritas seperti orangtua dan pendeta untuk mendapatkan informasi. Cukup mengetik infomasi yang kita perlukan di layar pencarian, maka mesin pencari seperti Google, Yahoo, Bing dan lainnya akan memberikan jawaban.
Generasi Y juga merindukan relasi yang lebih dari sekedar persahabatan biasa. Mereka membutuhkan komunitas agar bisa dimengerti, diterima, dihargai dan menjadi bagian di dalamnya. Penelitian McCrindle menunjukkan fakta generasi Y yang banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman sebayanya. Namun mereka seringkali gagal menemukan kesejatian dan penerimaan tidak bersyarat dari teman-temannya. Mereka berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan dan diterima teman-temannya sehingga seringkali memunculkan perilaku buatan yang menjadikan mereka sebagai orang-orang munafik dengan berbagai macam topeng yang mereka pakai. Pada saat semua anak muda lainnya dari generasi Y menampilkan perilaku seperti ini, maka kebohongan, penipuan, kepalsuan yang mereka tampilkan menjelma menjadi suatu kepalsuan besar yang mereka hadapi dan mereka jalani. Mereka mau tak mau harus berperilaku demikian agar bisa diterima dan menjadi bagian dari komunitas. Apakah gereja dan pelayanan kaum muda mampu menjadi komunitas yang menjawab kebutuhan mereka? Apakah komunitas gereja mampu menampilkan perlilaku  yang tulus tanpa kepalsuan?

Generasi Terhilang
David Kinnaman,  peneliti dari Barna Group, menguraikan hasil temuannya yang mengejutkan berdasarkan penelitian kepada 52,496 anak muda berusia 18-29 tahun di Amerika.[4]  Kinnaman menjelaskan terjadinya fenomena dropout di gereja yang melanda pemuda Amerika. Menurutnya, orang-orang muda yang meninggalkan gereja bisa menjadi generasi yang terhilang karena tiga cara utama :
·         Nomads (pengelana): tidak terlibat dalam gereja tapi masih menganggap diri mereka orang Kristen.
·         Prodigals (anak yang hilang): kehilangan iman, menggambarkan diri mereka bukan lagi orang Kristen.
·         Exiles (orang buangan): masih tertanam dalam iman Kristen mereka tetapi merasa terjebak (tersesat) di antara gereja dan iman.

Ketiga kelompok anak muda yang terhilang ini tidak meninggalkan iman mereka, tetapi mereka hanya “cuti” dari keterlibatan mereka di dalam gereja. Hasil studinya juga menemukan, secara garis besar, kebanyakan orang Kristen, dan bukan hanya orang percaya muda saja, kurang mempunyai pengetahuan Alkitab, doktrin, dan pengetahuan tentang sejarah gereja yang cukup.
Tiga arena utama yang menunjukkan adanya fenomena ini adalah :
1.       Hubungan. Berkat kemajuan dan penetrasi dari jejaring sosial, hubungan menjadi suatu kepastian yang dimiliki, bukan lagi sekedar kemungkinan-kemungkinan generasi mosaik mudah berhubungan dengan teman sebayanya dan memiliki hubungan positif dengan keluarga mereka. Namun pada saat yang sama, mereka memisahkan diri dari orangtua dan orang dewasa lainnya dalam bidang iman dan spiritualitas. Anak muda merasa bahwa orang dewasa tidak memahami kegalauan hati dan kecemasan mereka. Dalam konteks Indonesia, sedikit sekali anak muda berusia 18-29  tahun yang  berada di dalam gereja dan terlibat aktif dalam pelayanan gerejawi. Jikalau ada, maka pelayanan remaja dan pemuda akan menjadi gereja di dalam gereja yang tidak memiliki hubungan dengan gereja dan komunitas lainnya di dalam gereja. Hubungan yang tercipta hanyalah hubungan formal yang membosankan, kaku dan hanya di permukaan. Remaja dan pemuda memerlukan hubungan mendalam yang diwujudkan melalui persahabatan mentoring dari orang yang lebih dewasa atau berpengalaman yang bersedia berbagi hidup dengan mereka.
2.       Karier profesional. Arena kedua adalah karier profesional, perjumpaan antara iman dan panggilan yang sering terabaikan. Banyak anak muda Kristen terpanggil untuk melayani dalam bidang-bidang utama kehidupan seperti menjadi ilmuwan, dokter, pendidik, ahli psikologi, ahli hukum, ahli keuangan dan lain-lain. Tapi kebanyakan dari mereka tidak mendapat panduan bagaimana mengaitkan antara visi misi hidup mereka secara professional dengan iman mereka di dalam Kristus. Pembahasan topik-topik seputar rencana karier, pemilihan jurusan, perencaaan hidup dan bagaimana mengaitkan misi hidup mereka merupakan pembahasan yang jarang dilakukan. Akibatnya, pada saat kaum muda yang berada dalam usia produktif itu bekerja mewujudkan mimpi kehidupan mereka, iman dan kehidupan gereja terasa asing dan mengganggu. Akibatnya lebih merugikan gereja, karena gereja kehilangan orang-orang kreatif, pemimpin, dan orang-orang muda dinamis yang mampu menggerakkan gereja ke arah pertumbuhan yang lebih cepat dan baik.
3.       Hikmat. Arena terakhir yang perlu dipikirkan dengan serius adalah dalam membantu generasi muda untuk menghargai hikmat lebih dari sekedar informasi. Serangan deras informasi melalui berbagai media dan alat komunikasi modern menjadikan generasi mosaik sebagai generasi yang memiliki akses pengetahuan terluas dan terbanyak dibandingkan dengan generasi sebelumnya.  Sayangnya, banyak kaum muda yang lebih terbiasa dan bisa menjadi konsumen informasi dibanding orang berhikmat. Contohnya, banyak anak muda Kristen mengagumi kata-kata dan karya Yesus (informasi) tetapi tidak tahu dan tidak setuju bahwa Yesus adalah Tuhan (hikmat). Orang Kristen muda kehilangan kemampuan untuk mewujudkan firman yang mereka pelajari di Alkitab menjadi Firman hidup yang mengubahkan.

Menyikapi Budaya Kaum Muda
Generasi ini hilang karena ketidakmampuan gereja dan para pelayan kaum muda untuk membaca kebudayan. Tetapi hal ini juga mungkin terjadi karena sikap yang dimiliki terhadap kebudayaan. Richard Neibuhr  menuangkan karya teologisnya yang diakui beberapa kalangan sebagai karya  yang paling berpengaruh tentang kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture.[5] Ia menjelaskan sikap orang Kristen terhadap kebudayaan. Melanjutkan pemikiran Neibuhr, Andy Crouch merumuskan ulang lima sikap yang bisa kita pilih sebagai seorang Kristen dalam menyikapi kebudayaan:[6]
(1)  Mengutuki Kebudayaan : Kaum fundamentalis. Kelompok ini bersikap curiga dan menghakimi kegiatan manusia yang tidak eksplisit didukung oleh Alkitab dan dilakukan oleh orang Kristen  yang telah bertobat. Mereka membuat jarak dengan kebudayaan. Bagi beberapa kelompok pelayan kaum muda yang pemimpinnya berasal dari generasi sebelum mereka, hal ini muncul lewat beberapa larangan dan pembatasan terhadap hal-hal sekuler yang harus dihindari, misalnya : dilarang nonton bioskop, dilarang berpacaran sesama pelayan atau pengurus, dilarang ke kafe, dll.
(2)  Mengkritik Kebudayaan . Kelompok neo-evangelical bersikap lebih halus karena sudah memahami keterbatasan dari sikap menghakimi budaya. Kaum muda yang dibatasi dan dilarang seringkali menabrak batasan-batasan yang ada karena sifat keingintahuan dan natur pemberontak mereka. Kesadaran ini berbuah pada upaya untuk berdialog dan berpikir tentang kebudayaan. Para pemimpin kaum muda yang menganut sikap ini akan mengajak kaum muda untuk menganalisis dengan penuh nuansa akademis dan kognitif untuk menentukan sikap mereka selanjutnya. Kelompok ini akan bersikap kritis terhadap bioskop, musik, seni, dan produk budaya lainnya tanpa harus terlibat dalam hingar bingar kreativitas kebudayaan dalam dunia yang dinamis ini.
(3)  Meniru Kebudayaan. Gerakan Yesus (Jesus Movement) adalah representasi dari sikap ini. Alih-alih mengembangkan sikap menolak atau mengkritisi kebudayaan, Gerakan Yesus pada tahun 1970 memberikan kesempatan bagi anak muda dan pemimpin kaum muda untuk menikmati kebudayaan. Anak-anak muda Kristen yang memiliki rambut klimis dengan kemeja rapi sekarang tampil beda dengan rambut gondrong dan pakaian santai sperti kemeja Hawaii dan celana cut-bray. Musik mereka berubah dari musik klasik ke arah swing, jazz, hip hop bahkan rock. Di Indonesia fenomena ini muncul dengan beberapa gereja yang bahkan merancang ibadah kaum muda tak ubahnya seperti pertunjukan musik lengkap dengan kemegahan system suara, tata panggung dan bintang penyanyinya.
(4)  Memakai Kebudayaan. Gerakan ini muncul lewat karya sekelompok artis dan seniman Kristen yang menanamkan pengaruh dan penetrasi nilai mereka dengan menghasilkan ciptaan kebudayaan. Kelompok inilah yang muncul dengan gerakan membuat film-film yang memberitakan ulang pesan Injil dengan bentuk sinematika. Beberapa contoh yang jelas adalah film Spiderman dan The Transformer. Di Indonesia gerakan ini mulai berkembang dengan munculnya beberapa sineas muda Kristen dan ajang lomba pembuatan video pendek dengan tema Kekeristenan.
(5)  Mentransformasi Kebudayaan. Sikap ini merupakan pandangan dari Neibuhr yang menunjukkan suatu sikap proaktif untuk mengubah kebudayaan. Neibuhr berpendapat bahwa kodrat manusia telah jatuh dan rusak, dan penyimpangan tersebut tidak saja muncul dalam kebudayaan, tetapi juga diteruskan melaluinya. Kristus mempertobatkan manusia dalam kebudayaan dan masyarakat, bukan lepas darinya, sebab tidak pernah ada kodrat tanpa kebudayaan dan tidak ada perubahan hidup manusia dari dirinya sendiri.[7]

Upaya mentransformasi kebudayaan bukan merupakan suatu proses yang mudah. Andy Stanley mengilustrasikan proses ini melalui postur dan gestur. Orang-orang Kristen harus memiliki suatu postur, suatu sikap dasar yang kita pelajari, suatu sikap alami, sepanjang hidup kita. Namun demikian juga perlu mengembangkan gestur, gerak gerik tubuh untuk menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Postur dan gestur yang kita bangun selanjutnya akan membantu kita dalam mengenali kebudayaan, sampai akhirnya mampu mengubah kebudayaan.

Prinsip menjangkau Kaum Muda (Generasi Y) :
McCrindle[8] mengusulkan akronim 4R untuk bisa memahami kaum muda generasi Y: RealRawRelevantRelational.
(1)  Real. Keaslian menuntut adanya kredibilitas, bukan hanya sekedar berbicara dengan jujur dan terbuka, tetapi juga sikap dan kepribadian yang sejati dan apa adanya, bukan ada apanya. Generasi Y  tidak menuntut kita untuk masuk dan terlibat di dalam budaya mereka, tetapi cukup jika kita bisa memahami mereka dan meghormati mereka sebagaimana apa adanya mereka.
(2)  Raw.  Anak muda generasi Y memiliki akses kepada teknologi yang paling canggih, hingar bingar efek khusus film, kenikmatan video games yang sulit untuk bisa kita tandingi dan berbagai kemudahan teknologi lainnya. Namun justru yang menarik adalah kaum muda ini memerlukan sesuatu yang lebih mentah, yang masih asli dan sederhana di dalam menjalin relasi dan berkomunikasi. Mereka sudah mendapatkan semua kecanggihan dan merindukan suatu pendekatan yang lebih spontan, terbuka dan asli.
(3)  Relevant. Apa yang kita komunikasikan kepada kaum muda haruslah sesuatu yang berkaitan dengan minat mereka. Gereja saat ini perlu memikirkan ulang bagaimana membahas topik2 yang berkaitan dengan kehidupan kaum muda secara lebih dalam, mengaitakan antara panggilan professional mereka dengan pelayanan dan bagaimana bergumul tentang masalah kehidupan secara nyata. Juga penting untuk memperhatikan bukan hanya sekedar isinya, tetapi juga cara penyampaian isi tersebut perlu disampaikan dengan relevan. Anak muda masa kini yang hampir 24 jam selalu melihat kepada layar (HP, Ipad, Televisi, Proyektor, Tab, dll.) tentunya akan lebih mudah menangkap ide yang disampaikan dengan cara yang sama, dibandingkan dengan khotbah tradisional yang menjemukan.  Khotbah dengan berlandaskan dasar Fiman Tuhan yang kokoh, dengan penggalian dan pemaparan yang sangat jelas tentu akan lebih mengena jika disampaikan dengan tampilan yang menarik hati kaum muda.
(4)  Relational. Pepatah lama mengatakan, “They don’t care how much you know until they know how much you care!” Pelayanan kaum muda yang berhasil adalah pelayanan yang bisa menjangkau hati mereka, peduli, bertanya, dan mendengar mereka. Gereja dan pelayan kaum muda perlu berlatih kembali membuka hati dan telinga untuk mendengar suara anak-anak muda yang terhilang ini.
(5)  Radical. Poin terakhir ini merupakan tambahan penulis. Menjangkau generasi muda sekarang perlu mengajak mereka untuk berpikir, bersikap dan bertindak radikal. Radikal berasal dari kata “radix” yang artinya mengakar. Radikal berarti berakar kuat, tangguh dan kokoh. Kaum muda perlu memiliki hubungan yang berakar dengan Kristus, sehingga mampu bersikap dan bertindak radikal seperti Kristus. Dengan akar yang kuat, maka hembusan angin sekeras apapun akan sanggup dihadapi.

Kesimpulan
Mengenali kebudayaan kaum muda menjadi suatu keharusan bagi gereja dan pelayan kaum muda yang ingin melayani mereka dengan sepenuh hati. Dengan mengenali dan memahami mereka, maka kita akan mampu menggerakkan mereka untuk berkarya bagi Kristus. Dengan demikian doa Daud dalam Mazmur 145:4 akan terwujud : “Generasi demi generasi akan memegahkan pekerjaan-pekerjaan-Mu dan akan memberitakan keperkasaan-Mu.”

Kepustakaan:
BenediktusPaus, Pontificium Consilium de Cultura http://www.cultura.va/content/cultura/en/magistero/papa/BenedictXVI/plenaria2013.html (diakses pada 2 September 2013).

Erwin, Pamela. A Critical Approach to Youth Culture:Its Influence and Implication for MinistryGrand Rapids: Youth Specialties2010.

McCrindleMark.  The ABC of XYZ: Generational Diversity at Workhttp://www.quayappointments.com.au/email/040213/images/generational_diversity_at_work.pdf (diakses pada 29 September 2013).

Kinnaman, David. You Lost Me. Grand Rapids : Baker, 2011.

Niebuhr, Richard H. Christ and Culture. San Fransisco: Harper, 2001.

Crouch, Andy. Culture Making. Downers Grove: IVP, 2008.

McCrindle, Mark. Understanding Generation Yhttp://ecweb.elthamcollege.vic.edu.au/principal/pdf/Understanding%20Generation%20Y.pdf (diakses 27 September 2013)





[1] Pontificium Consilium de Cultura  dalam surat penggembalaan yang dikirimkan oleh Paus Benediktus  XVI tertanggal 7 Februari 2013 memperingatkan bahwa Gereja Katolik akan menghadapi resiko kehilangan generasi masa depan jika Gereja tidak belajar bagaimana memahami orang muda, bahasa dan budaya mereka. http://www.cultura.va/content/cultura/en/magistero/papa/BenedictXVI/plenaria2013.html (diakses pada 2 September 2013)
[2] Pamela Erwin, A Critical Approach to Youth Culture:Its Influence and Implication for Ministry (Grand Rapids: Youth Specialties2010).
[3] Mark McCrindle,  The ABC of XYZ: Generational Diversity at Workhttp://www.quayappointments.com.au/email/040213/images/generational_diversity_at_work.pdf (diakses pada 29 September 2013).
[4] David Kinnaman, You Lost Me (Grand Rapids : Baker, 2011).
[5] Richard H. Niebuhr, Christ and Culture (San Fransisco: Harper, 2001).
[6] Andy Crouch, Culture Making (USA : InterVarsity, 2008)
[7] Niebuhr, Christ and Culture, 45.
[8] Mark McCrindle, Understanding Generation Yhttp://ecweb.elthamcollege.vic.edu.au/principal/pdf/Understanding%20Generation%20Y.pdf (diakses 27 September 2013)

Rabu, 01 Mei 2013

SENI DALAM PELAYANAN KAUM MUDA



SENI DALAM PELAYANAN KAUM MUDA
Astri Sinaga, M.Th.


Introduksi
Seni dan kaum muda adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.  Berbagai bentuk-bentuk seni mewarnai keseharian kaum muda bahkan mereka aktif terlibat di dalamnya. Musik, cerita dan visual secara silih berganti memasuki alam pikiran mereka yang disalurkan oleh kekutan teknologi media. Sebuah penelitian mengatakan bahwa seorang  pemuda menghabiskan waktu mereka memperhatikan atau terlibat dengan teknologi media selama 6,5 jam setiap hari yang di dalamnya sebagian besar adalah bentuk-bentuk seni seperti musik, cerita, dan visual.[1] Mereka mendengarkan musik ketika berada di angkutan umum, di kamar, di mall, ataupun dalam kehidupan komunitas. Mereka menuliskan cerita mereka  di berbagai media sosial, memperhatikan juga cerita orang lain dan berdialog dengan cerita itu, menulis jurnal pribadi  dalam  blog sebagai ekspresi dan aktualisasi diri. Kaum muda juga menuangkan pikiran dan ekspresi  mereka dalam berbagai bentuk dan saluran yaitu media sosial, teknologi, bentuk-bentuk seni seperti musik, tari, olah tubuh, disain grafis, graffiti, dan lain lain.
Begitu dekatnya seni dengan kehidupan kaum muda, bahkan bentuk-bentuk seni yang dipelopori kaum muda telah membentuk budaya tersendiri yang disebut youth culture atau budaya kaum muda. Secara aktif kaum muda membentuk dan dibentuk oleh budaya kaum muda,[2] bahkan mereka berenang di dalamnya, hidup di dalamnya seperti ikan hidup di dalam air.  Pelayanan kaum muda tidak boleh menutup mata atas kekuatan seni yang sebenarnya juga dapat menjadi kekuatan penting dalam menjangkau, membina dan memperlengkapi kaum muda untuk kehidupan spiritual yang lebih baik.  Tapi seni dengan kekuatannya bila tidak dikelola dengan benar sesuai dengan disain Allah meletakkan fungsi seni dalam kapasitas manusia, maka seni pun dapat menjauhkan kaum muda dari kehidupan ibadah kepada Tuhan. Dengan demikian perlu ada pembingkaian yang menolong pelayan kaum muda dalam melibatkan bentuk-bentuk seni dalam pelayanan kaum muda. Dari begitu banyaknya bentuk seni, penulis hanya membatasi bentuk seni dalam musik, cerita dan gambar.
Musik, cerita dan gambar dalam budaya kaum muda
Banyak teori-teori yang dihasilkan oleh para ahli  psikologi perkembangan yang menjelaskan keunikan kaum muda. Teori-teori ini banyak menolong pelayan kaum muda untuk mengerti bagaimana kondisi seorang remaja atau pemuda dalam berbagai aspek seperti bagaimana mereka menangkap informasi, bagaimana mereka mengambil keputusan moral, menghadapi krisis dan sebagainya.  Tapi kaum muda tidak tumbuh dalam kevakuman melainkan dalam konteks masa dan waktu tertentu.  Salah satu tanda yang jelas untuk melihat siapakah kaum muda adalah dengan cara melihat kepada budaya kaum muda itu sendiri.  Tidak semua kaum muda terlibat langsung dengan bentuk-bentuk seni, tapi mereka secara tidak langsung terlibat dalam gaya hidup yang didalamnya terdapat unsur-unsur seni. Seni sebagai budaya kaum muda dapat menjadi peta untuk melihat apa yang terjadi dengan kaum muda saat ini. Namun cara kaum muda berinteraksi dengan bentuk-bentuk seni ini berbeda dengan orang dewasa atau generasi sebelumnya. Berikut ini adalah gambaran betapa dekatnya kaum muda dengan bentuk-bentuk seni yang memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan kaum muda.
Musik.  Bagaimana kaum muda memandang musik mengalami perubahan dari masa ke masa bersamaan dengan berkembangnya teknologi. Di masa yang lalu, ketika orang masih banyak mendengar musik lewat media radio, maka kata-kata menjadi perhatian para penggubah lagu.  Orang menikmati lagu-lagu dari kata-katanya yang bercerita dan dapat mewakili isi hati yang sedang mendengarkan.  Namun ketika era media TV mengambil tempat yang lebih utama maka kata-kata  dalam sebuah lagu juga tidak lagi menjadi yang utama, tapi bagaimana penyanyi itu terlihat membawakannya menjadi penting. Seorang penyanyi dan lagu yang dibawakannya menjadi menyatu, karena orang bukan hanya menikmati lagu, tapi juga penyanyi yang membawakannya. Seorang penyanyi akhirnya mempengaruhi penggemarnya bukan hanya lewat lagu-lagunya tapi juga lewat kehidupannya di balik panggung. Saat ini ketika kaum muda hidup dalam era “multi – layar” atau multi-screen, musik dinikmati dengan cara yang berbeda.  Ketika seorang pemuda memiliki perangkat media lebih dari dua, misalnya: handphone, tablet, dan laptop, maka musik yang berbunyi di telinganya sementara dia duduk di tengah angkutan umum sambil membaca e-book dalam tabletnya, musik itu hanya menjadi sebuah “suara”. Lagu tidak lagi didengar untuk diperhatikan dan didengar dengan seksama, tapi sebagai latar belakang suara ketika pekerjaan lain dilakukan. Tapi sebenarnya “suara” itu memberikan koneksi yang dapat menghubungkan dan membangun suatu rasa di dalam diri, entah itu rasa nyaman, tenang, ataupun marah dan tergesa-gesa.[3] Jadi walaupun nampaknya perilaku kaum muda mendengar musik terlihat sebagai suatu selingan atau latar belakang, tetap saja musik itu sedang membangun sesuatu di dalam diri yang mendengarkannya.
Cerita. Teknologi menuangkan cerita dalam berbagai bentuk; film, TV, buku, internet, blog, jejaring sosial dan sebagainya. Di masa lalu umumnya kaum muda senang membaca cerita dalam buku-buku yang sebenarnya tidak terkait apa-apa dengan dirinya. Dalam cerita-cerita itu mereka mengidentifikasi diri mereka dengan karakter-karakter yang ada di dalam cerita itu. Tapi saat ini kaum muda juga senang ‘menceritakan’ dirinya sendiri kepada orang lain bahkan secara luas lewat media social. Sebuah ‘status’ yang mereka tuliskan dalam di media social nampaknya memang pendek karena hanya terdiri dari 1 kalimat, tapi “status” itu sebenarnya suatu upaya kaum muda sedang menceritakan dirinya. Lewat status di jejaring sosial, kaum muda berkomunikasi dengan dunianya dan orang dewasa seringkali tidak sanggup menangkap apa yang sebenarnya mereka sedang komunikasikan. 
Gambar. Kaum muda saat ini sangat memerlukan visualisasi yang sama besarnya dengan apa yang mereka dengar. Teknologi telah membiasakan penglihatan mereka dengan berbagai warna, bentuk dan tampilan yang menarik.   Gambar memang dapat mengandung banyak kata, itu sebabnya  gambar dapat mengkomunikasikan banyak hal kepada yang melihatnya bahkan lebih banyak dari kata-kata.[4] Gambar dan kata memiliki kekuatannya sendiri dan memberikan dampak dengan cara yang berbeda. Kata-kata membuat orang berpikir dan berimaginasi, sementara gambar membuat seseorang merasakan dan tidak  perlu berimaginasi seperti mendengar kata-kata karena dia melihat detail dari gambar itu.  Gambar-gambar dan visual yang muncul di hadapan kaum muda lewat interaksi mereka dengan teknologi memberikan pengertian kepada mereka apa yang disebut indah, cantik, ganteng, keren,teratur, tidak teratur, sempurna, tidak sempurna dan sebagainya. Detail gambar bahkan membuat kaum muda dimanjakan penglihatannya dan melemahkan fungsi imaginasi dan akhirnya gambar hanya memberikan kesenangan semata.[5]
Untuk mengenal kaum muda dengan lebih baik, seseorang harus juga mengenal bentuk-bentuk seni yang menjadi budaya kaum muda. Di dalam lagu-lagu yang dinyanyikan mereka tersimpan cara pikir yang mempengaruhi mereka ketika mereka menyanyikannya ataupun  mendengarkannya. 
Mengenali Seni yang ada di tengah kaum muda
Dengan Musik, cerita, dan gambar, kaum muda membangun budayanya sendiri. Mereka berbicara dengan “bahasa” yang berbeda dan mengerti dengan cara yang berbeda. Budaya kaum muda yang tumbuh di tengah-tengah budaya dominan menciptakan jurang perbedaan di antara generasi,  yang seringkali orang dewasa sulit untuk mengerti kecuali mereka masuk dan berada di dalamnya, mendengar apa yang mereka dengar, melihat apa yang mereka lihat dan bicarakan. Di dalam perbedaan budaya itu, maka Walt Mueller memangdang pelayanan kepada kaum muda sebenarnya juga dapat dilihat sebagai “cross-cultural” Ministry  atau pelayanan lintas budaya.[6] Layaknya seorang misionari yang ingin melayani ke luar negeri dengan kebudayaan yang berbeda, maka dia juga harus mempersiapkan diri mengenal budayanya, mempelajari bahasa dan kebiasaannya. Demikian jugalah seorang pelayan kaum muda seharusnya berupaya untuk mengenali budaya kaum muda, walaupun secara geografis mereka tinggal di daerah yang sama.  Mengenai upaya untuk mengerti budaya kaum muda ini, Pamela Erwin menganjurkan agar pelayan kaum muda memiliki ketrampilan ethnografi[7]. Ketrampilan yang utama dari seorang ethnografer adalah berada di tengah-tengah konteks melakukan observasi dari dekat dan memberikan pertanyaan serta analisa yang mendalam. Dengan cara inilah pelayan kaum muda dapat memahami apa yang terjadi pada kaum muda dan dapat melayani mereka dengan lebih bijak.


Seni  dapat membawa kaum muda mengalami Tuhan dengan lebih baik
Ketika berhadapan dengan penggunaan seni dalam pelayanan kaum muda, ada 2 sikap yang sangat mungkin diambil oleh gereja: yang pertama adalah mengakomodasi budaya tersebut, dan yang kedua menciptakan “bunker” untuk melindungi jemaat dari apa yang mereka percaya sebagai pengaruh buruk.[8]  Selain kedua sikap ini , yang ketiga dan yang dianggap paling sulit adalah melakukan transformasi.
Sikap akomodasi berarti tanpa sikap kritis dan menganalisanya dengan baik, pelayanan  kaum muda membuka dirinya terhadap berbagai bentuk seni, hanya supaya tempat ibadah mereka dipenuhi oleh kaum muda dan sebanyak mungkin kaum muda merasa nyaman di dalamnya.  Ketika bentuk seni dipakai tanpa adanya pemahaman yang menjadi muatan nilai di dalam bentuk seni itu, maka yang tercipta di dalam penggunaanya hanyalah kenikmatan dan rasa nyaman. Musik memang bisa memuat makna yang lebih dari kata-kata, tapi musik juga bisa membuat pendengarnya hanya berhenti pada rasa nikmat dan senang. Kaum muda tidak perlu keluar dari gereja untuk menjauh dari Tuhan yang seharus nya disembah, tapi justru ketika mereka masih ada di dalam gereja dan terlibat dengan begitu banyak pelayanan yang melibatkan seni, justru mereka menjauh dari Tuhan. Seni justru menjadi tembok yang  berdiri di antara mereka dan Tuhan; tidak menolong mereka untuk mengalami Tuhan dengan baik, tapi jatuh kepada leasure atau kesenangan diri. Ketika diri menjadi pusat ekspresi seni, maka tempat dimana Tuhan seharus menjadi sentral akhirnya tergeser.  
Pelayan kaum muda harus mengelola penggunaan musik, gambar, kata dan lainnya untuk suatu bentuk-bentuk yang dapat membawa kaum muda bukan hanya pada rasa senang, tapi kekaguman kepada Tuhan, keindahan yang yang membuatnya bersyukur, dan rasa takluk kepada Tuhan. Kesenangan tentu bukanlah hal yang jahat, tapi ketika kesenangan menggantikan posisi kekaguman kepada Tuhan maka kesenangan itu tidak berarti apa-apa. Brian Cosby mengingatkan pelayan kaum muda bahwa keinginan yang kuat dari kaum muda untuk mengalami kesenangan dan selalu tidak mau susah, tidak boleh diakomodir begitu saja.[9] Mengakomodir rasa senang kaum muda telah membuat pengkhotbah-pengkhotbah lebih sibuk memikirkan tampilan power point, clip art, dan musik latar yang baik, ketimbang studi yang mendalam akan Firman Tuhan yang akan dibawakan. Khotbah hanya menjadi sebuah tampilan yang menarik dan menyenangkan tapi tidak membawa kaum muda pada pengalaman mendengar suara Tuhan berbicara dalam hatinya. Musik yang megah memang dapat membuat sebuah ibadah kaum muda terasa meriah dan otentik bergaya muda, tapi musik itu sendiri sebenarnya bisa membuat kaum muda hanya berhenti pada kondisi ‘senang’ dan ‘enak’ tanpa memberikan suasana batin yang mendalam yang diarahkan kepada Tuhan.
Gereja juga seringkali menjadikan pelayanan kaum muda seperti sebuah “bunker” yaitu tempat perlindungan bagi kaum muda dari pengaruh-pengaruh buruk yang ada di dunia ini.[10] Dalam hal ini Gereja seringkali membelengu ekspresi seni kaum muda nya sehinggga seni tidak lagi menjadi ekspresi otentik dari jamannya.  Gereja bahkan menggunaka bahasa yang berbeda, yang sebenarnya kaum muda yang ada di dalamnya juga tidak pernah mempertanyakan apa arti sesungguhnya. Kaum muda di gereja menerima dan tunduk begitu saja terhadap aturan dan kebiasaan yang ditetapkan oleh orang-orang yang sebenarnya tidak memahami kehidupan kaum muda.  Ketika ada orang dari luar gereja yang masuk ke dalam untuk bergabung maka mereka akan merasa asing seakan pemuda gereja sedang menggunakan ‘bahasa’ yang berbeda yang mereka tidak mengerti. Mereka menyanyikan lagu yang muncul di abad yang berbeda, gaya bergaul yang tidak biasa, humor yang tidak lucu, pendekatan yang membingungkan, dan prinsip-prinsip yang sama sekali asing buat mereka. Tapi untuk kaum muda gereja sendiri mereka merasa itulah sejatinya kaum muda yang ‘rohani’ , padahal sebenarnya mereka sedang berada dalam kondisi “pura-pura” atau tidak otentik.  Apa yang mereka alami dalam ibadah sebenarnya bukanlah bahasa mereka, bukan musik mereka dan bukan cara mereka berkomunikasi. Tapi mereka menjalaninya seakan itulah ekpresi rohani mereka yang sesungguhnya. Mengenai kondisi ini Mike Yakoneli menyebut hal ini sebagai spiritualitas yang berantakan dan membutuhkan upaya utuk keluar dari kepura-puraan itu dan berhenti menjadi ‘pretender’.[11]
Hal sulit yang dilakukan dalam menjangkau kaum muda adalah sikap yang ke tiga yaitu  infiltrasi dan transformasi.[12]  Walt Mueller menjelaskan justru pelayanan kaum muda justru harus keluar dari “bunker” mereka masing-masing, terlibat langsung di tengah kehidupan kaum muda dengan segala budaya-nya dan membawa pembaharuan.[13] Dalam keterlibatan dengan penggunan seni, maka kaum muda pun seharusnya tidak dikekang ekspresinya dalam bermusik, bertutur, melukis, menulis, tapi seharusnya mereka didampingi untuk menemukan makna yang terasosiasi di dalam bentuk seni itu. Lagu dan gambar bisa dipadukan menjadi cerita yang kuat dalam menghidupkan kebenaran Firman Tuhan. Musik dan drama dapat membuat kaum muda merasakan keindahan yang tidak bisa dirasakan hanya lewat penjelasan verbal logis.
Kesimpulan
Seni adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kaum muda. Melayani kaum muda berarti harus terlibat juga dan mengenali dengan cermat bentuk-bentuk seni yang ada disekitar mereka, sehingga seorang pelayan kaum muda dapat secara efektif menjangakau dan melayani mereka.





[1] Walt Mueller, youth culture 101, Youth specialties,  79
[2]Pamela Erwin,  A critical approach to youth culture, its influence and implication for ministry, Youth specialties, 2010, 53-56.  Dalam studi awal youth culture dilihat sebagai suatu sub-culture yang dimengerti sebagai reaksi sekelompok orang kepada budaya besar yang mendominasinya. Tapi dalam perkembangan berikutnya budaya kaum muda tidak lagi dilihat dalam kerangka “sub-budaya” karena budaya kaum muda tidak lagi dilihat sebagai reaksi kaum muda semata, tapi mereka adalah pelaku aktif dalam pembentukan budaya itu sendiri
[3] Richard Viladesau,  Theology and the art ( Paulis Press: 2000) 38
[4]Shane Hipps. Flickering Pixels. (MI: Zondervan, 2009) 76-77
[5]  Hipps, Flickering pixel,  80
[6] Walt, Mueller, Engaging the soul of youth culture (IVP Books :2006) 46-51
[7] Erwin, A Critical Approach to Youth Clture, 67 - 78
[8] Mueller, Engaging the soul of youth culture, 135-136. Walt Mueler menyederhanakan i 5 tipologi Richard Niebuhr yang merupakan  pendekatan kristen terhadap budaya ke dalam 3 sikap yaitu : accomodation, alienation, dan transformation.  
[9] Brian H Cosby, Giving up Gimmick reclaiming youth minsitry from an entertaiment culture.  36-37
[10] Mueler,l 140
[11] Mike Yaconelly, Messy spirituality (youth specialities: 2002), 26-28
[12] Mueller, 146
[13] Mueller, 157-159