Liturgi Gerejawi dalam
Dunia Post-modern
Chandra
Julianto
Pendahuluan
Memasuki zaman post-modern,
gereja memasuki tantangan yang baru. Perdebatan antara adaptasi liturgi kepada
zaman yang baru atau tetap bertahan kepada liturgi yang lama menjadi salah satu
isu utama. Perdebatan seperti ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Tegangan
antara mempertahankan tradisi liturgi dengan pembaharuan mengikuti perkembangan
zaman selalu terjadi setiap kali gereja memasuki zaman yang baru.
Tinjauan Abraham Kuyper tentang
usaha pembaharuan liturgi di gereja Belanda bisa menjadi contoh yang baik.
Dalam bukunya “Our Worship” yang ditulis tahun 1911, Kuyper menulis tentang
keengganan gereja Reformed
Belanda menerima genre musik himne yang dianggap tidak sekudus atau sekhidmat
genre musik mazmur.[1] Menurut
Kuyper, sebenarnya perbedaan dari kedua genre musik ini tidak begitu berarti.
Keduanya menggunakan alat musik yang sama, aransemen musik yang sama,
dinyanyikan dengan cara yang sama. Satu-satunya perbedaan yang berarti adalah
genre musik mazmur mengambil liriknya dari ayat-ayat Alkitab secara langsung,
terutama dari kitab Mazmur, sementara genre musik himne menggunakan lirik-lirik
yang lebih temporal dan bicara tentang pergumulan iman dalam kehidupan
sehari-hari.[2]
Pada masa sekarang, perdebatan
ini sudah tidak terlihat lagi sebab genre musik himne sudah dianggap bagian
dari liturgi. Namun di zaman Kuyper, perdebatan mengenai himne dan mazmur
begitu hangat sampai-sampai gereja reformed di Belanda melihat penggunaan genre
musik selain mazmur bukan hanya bertentangan dengan tradisi gereja namun juga
bertentangan dengan prinsip Alkitab.[3]
Perdebatan-perdebatan ini muncul
karena sebuah keyakinan bahwa gereja dan unsur-unsur liturgi di dalamnya harus
terus bertahan kepada prinsip alkitabiah, yang sayangnya sering kali salah
diterjemahkan sebagai kondisi statis di mana perubahan tidak diizinkan. Tetapi
apakah ibadah yang alkitabiah berarti ibadah tidak boleh berubah sama sekali?
Gereja: Produk Teologis, Budaya, dan Zaman
Tidak ada yang meragukan bahwa
gereja harus teologis, berdasar kepada Alkitab dalam segala aspeknya. Namun
keyakinan ini bukan berarti bahwa gereja harus bertahan kepada tradisi yang sama
tanpa mempertimbangkan fakta bahwa kita tidak lagi hidup di konteks 2000 tahun
lalu. Dan lagi, pemikiran bahwa untuk mempertahankan kemurnian gereja maka gereja
tidak boleh beradaptasi dengan konteks budaya dan zaman kontemporer bukan hanya
keliru namun justru bertentangan dengan sejarah gereja.
Tidak ada liturgi yang kita
jalani sekarang benar-benar murni diambil dari Alkitab secara langsung tanpa
ada perubahan. Liturgi yang dianggap sebagai “tradisional” di zaman ini
dianggap sangat kontemporer dalam zamannya.[4]
Ambil saja penggunaan organ sebagai instrumen musik gerejawi sebagai contoh.
Pada zaman ini, organ adalah alat musik minimal yang harus dimiliki dalam
ibadah. Namun menurut Crouch, pada
permulaan penggunaannya, alat musik organ hanya diterima oleh satu golongan
gereja, yaitu aliran Calvinis di Swiss, yang terpaksa menggunakannya karena
jemaat di Swiss kala itu begitu tidak terlatih dalam bernyanyi sehingga
dibutuhkan alat musik yang bisa menunjukkan nada yang tepat.[5]
Jadi, dapat kita katakan bahwa penyesuaian unsur-unsur liturgi sesuai dengan
konteks kontemporer sudah terjadi di sepanjang sejarah gereja.
Kita juga tidak boleh lupa
bahwa jemaat gereja adalah anak budaya dan zaman. Memaksa jemaat untuk datang
ke gereja dan mengikuti model liturgi “tua” adalah seperti memaksa mereka untuk
keluar dari dunia mereka dan memasuki dunia lain yang sama sekali tidak mereka
mengerti. Inilah sebabnya mengapa gereja-gereja yang terjebak dalam paradigma
modern mulai mengalami kemunduran di zaman post-modern.
Leonard Sweet mencatat bahwa
dalam jangka waktu 1 tahun (1997-1998), gereja-gereja aliran utama di Amerika
mengalami penurunan jumlah jemaat sebanyak 10-15%, yang menyebabkan, untuk
pertama kalinya dalam sejarah Amerika Serikat, ada lebih banyak orang yang
menghadiri ibadah di gereja non aliran utama daripada gereja aliran utama. Penyebab
penurunan ini terutama karena liturgi yang dianggap sudah tidak lagi relevan
bagi jemaat.[6] Scheer
menyatakan hal yang serupa, gereja-gereja dengan liturgi yang cocok dengan
semangat zaman post-modern, seperti aliran Pentakosta yang menonjolkan pujian
penyembahan yang emosional, dan aliran ortodoksi yang menekankan pengalaman
transenden dan misterius, mengalami peningkatan dalam kehadiran anak muda yang
cukup signifikan.[7]
Gereja harus membuka mata
terhadap perubahan budaya dan zaman dan melihatnya sebagai kesempatan untuk
menjadikan ibadah relevan bagi jemaat. Partisipasi dan keterlibatan kepada
kultur dan zaman kontemporer adalah cara untuk menjadikan penyembahan otentik.
Riddell, Pierson, dan Kirkpatrick menekankan bahwa penyembahan baru bisa
menjadi relevan ketika inti penyembahan diizinkan untuk terkoneksi kepada
realita kehidupan si penyembah.[8]
Redman menulis, “dalam level tertentu penyembahan Kristiani harus memiliki
gambaran, suara, dan rasa dari kultur lokal agar penyembahan bisa menjadi
otentik dalam kultur yang bersangkutan.”[9]
Menurut Abraham Kuyper, penyembahan dalam kehidupan sehari-hari dan penyembahan
dalam ibadah adalah seperti dua sisi dari satu mata uang: yang satu tercermin
kepada yang lain. Apa yang diajarkan dan didapatkan di dalam liturgi gereja harus
bisa diaplikasikan ke dalam penyembahan kehidupan; sebaliknya, liturgi gerejawi
haruslah menjadi sebuah ibadah yang dekat kepada kehidupan sehari-hari: bicara
tentang kehidupan nyata, membahas kasus iman yang nyata, dan menekankan
tindakan iman serta teladan Kristus di dalam perbuatan sehari-hari.[10]
Jadi, ibadah tidak boleh
menjadi sesuatu yang “di luar dunia” atau sesuatu “di luar kehidupan,” di mana
seseorang yang masuk ke dalam gereja diajak untuk membahas hal-hal yang tidak
terkait dengan kehidupannya. Itulah alasan mengapa gereja Katolik Roma melalui
konsili Vatikan II, menghimbau agar musik dan liturgi dibangun dengan cara yang
mampu mendorong partisipasi yang penuh dan aktif dari jemaat lokal.[11]
Salah satu alasan lain mengapa
adaptasi gereja sesuai zaman kontemporer penting untuk dipertimbangkan adalah
masalah generasi penerus. Masa depan gereja ada di tangan kaum muda dan remaja. oleh karena itu, kita harus
mulai memberikan porsi yang cukup bagi mereka untuk membentuk liturgi yang
relevan dan untuk menentukan arah gereja ke depan. Dalam bukunya “The Great Worship Awakening?
Singing a New Song in the
Postmodern Church”, Redman
menekankan bahayanya gereja yang tidak beradaptasi sesuai budaya dan zaman generasi
penerus. Pada tahun 1960, pasca perang dunia kedua, gereja-gereja di Amerika
Serikat mengalami masa kejayaan. Alasan utama dari pertumbuhan ini adalah
karena gereja-gereja di masa itu secara khusus membangun liturgi mereka dalam
konteks yang sesuai, yaitu pasca perang dunia kedua: keputusasaan karena
melihat begitu banyak kehancuran dan kematian serta pergumulan untuk membangun
dan menata kembali kehidupan mereka. Namun pada akhir 1960, gereja-gereja ini mulai
mengalami penurunan kehadiran jemaat, dan pada akhir 1970 kebanyakan gereja ini
mengalami kemunduran yang signifikan. Hal ini disebabkan karena generasi muda,
yang lahir tanpa pernah melihat perang dunia kedua, tidak merasa bahwa liturgi
yang ada relevan bagi mereka. Mereka adalah generasi yang positif dan
optimistis, jejak perang ada di belakang mereka dan masa depan yang terbuka
lebar ada di depan mereka. Mereka tidak lagi ada di tempat yang bergumul untuk
mendapatkan harapan, mereka sudah memiliki harapan itu. Hal yang dibutuhkan adalah
pesan optimisme bukan pesan penghiburan. Lama kelamaan, menurut Redman,
generasi yang baru ini akhirnya tidak bisa menjadi jemaat yang berkomitmen, yang
pada gilirannya, tidak bisa menerima tongkat estafet dari generasi yang lebih
tua.[12]
Semua ini menunjukkan kepada
kita bahwa gereja adalah produk teologis, budaya, dan zaman. Memang teologi
adalah intinya, namun ini bukan berarti bahwa gereja bisa mengabaikan aspek
budaya dan zaman. Pembaharuan liturgi sesuai budaya dan zaman kontemporer adalah
kebutuhan mendesak yang harus menjadi perhatian utama gereja di setiap zaman.
Mengingat zaman kontemporer saat ini adalah zaman post-modern, maka adaptasi
yang harus gereja hadapi sekarang adalah adaptasi kepada zaman ini.
Liturgi Pujian Penyembahan yang Post-Modern
Menurut Scheer
ada 5 perbedaan antara zaman modern dan zaman post-modern yang berkaitan secara
langsung kepada liturgi:[13]
Zaman Modern
|
Zaman Post-modern
|
Aspek intelektual
|
Aspek pengalaman
|
Hidup individualis
|
Hidup berkomunitas
|
Observasi
|
Partisipasi
|
Tulisan
|
Gambar
|
Logika
|
Cerita
|
Hal yang serupa
juga disampaikan oleh Robert E. Webber. Dalam survei yang dia lakukan di tahun
1999 kepada 176 jemaat gereja injili berusia 20-an dari 41 denominasi yang
tersebar di 14 negara, dia menemukan bahwa:
·
Hasrat
terdalam dan terbesar dari seorang jemaat di umur 20-an adalah untuk mengalami
perjumpaan yang otentik dengan Tuhan (88%).
·
Kerinduan
untuk berjumpa dengan Tuhan ini memang dilihat sebagai pengalaman individual,
namun pengalaman ini diharapkan terjadi di dalam konteks komunitas, sehingga
bukan hanya dia yang merasakan perjumpaan yang otentik, melainkan seluruh
komunitas (88%).
·
Ada harapan
yang besar bahwa sebuah liturgi pujian penyembahan bisa menyentuh sesuatu yang
dalam dan hakiki (87%).
·
Keinginan
untuk mendengar khotbah yang menantang (69%) dan lebih banyak menggunakan
penafsiran yang mendalam akan Kitab Suci (49%).
·
Penyembahan
diharapkan lebih partisipatif. Penyembahan bukanlah sebuah konser yang
disuguhkan kepada jemaat yang hanya menjadi penonton. Jemaatlah pemainnya,
Tuhanlah penontonnya (73%).
·
Jemaat
menginginkan penggunaan media visual yang lebih kreatif (51%).
·
Penyembahan
akan berfokus kepada transendensi Tuhan (45%), sekalipun kerinduan untuk
berjumpa dengan Tuhan yang dekat juga sangat tinggi (88%).[14]
Perbedaan ini
menunjukkan bahwa generasi yang kita layani sekarang memiliki pendekatan yang
berbeda terhadap spiritualitas, dan dengan demikian, harus dilayani dengan
liturgi yang berbeda. Generasi post-modern merindukan pengalaman yang melampaui
aspek kognitif dan mampu menggerakkan emosi mereka. Mereka menyukai lagu yang
memaparkan cerita perjalanan kehidupan mereka dan Tuhan. Mereka menginginkan
sebuah liturgi yang mengizinkan mereka bisa berdiri berdekatan dan bernyanyi
bersama sebagai sebuah unit. Mereka mengekspektasikan penggunaan teknologi
media untuk menampilkan gambar-gambar visual yang mampu menggugah imajinasi
mereka akan Tuhan secara kreatif.
Menurut Kenda
Creasy Dean dalam ulasannya “Moshing for
Jesus – Adolescence as a Cultural Context for Worship”, remaja-remaja pergi
ke gereja untuk merasakan pergerakan emosi, untuk merasakan bahwa mereka
diubahkan, untuk merasakan Tuhan, untuk merasakan sesuatu.[15]
Mereka mau mendengar Firman Tuhan secara objektif, tetapi mereka juga butuh
merasakan yang objektif itu secara subjektif. Mereka perlu menjadikan yang
objektif itu sebagai milik mereka sendiri, sebagai pengalaman mereka pribadi.
Jika demikian halnya, maka semangat
post-modern sebenarnya dekat dengan esensi penyembahan yang tradisional, sebab
orang-orang di zaman post-modern justru merindukan hubungan yang langsung
dengan Allah sebagaimana kisah para tokoh Alkitab yang mampu bicara tentang
Allah dari pengalaman yang sangat personal.[16]
Crouch menyatakan bahwa perbedaan yang signifikan antara penyembahan
kontemporer dan tradisional bukanlah dalam hal esensinya, melainkan dalam
hal-hal eksternal seperti aransemen dan instrumen
musik yang digunakan serta tampilan luar dari liturgi.[17]
Jadi, adaptasi liturgi ke dalam konteks post-modern sebenarnya adalah perubahan
hal-hal eksternal yang dilakukan justru untuk menambah yang internal. Adaptasi
ini dilakukan bukan untuk mengaburkan esensi penyembahan melainkan untuk
memperkuatnya.
Dalam hal aplikasi perubahan
liturgi ke dalam zaman post-modern, prinsip yang diajukan oleh Leonard Sweet
serta Riddell, Pierson, dan Kirkpatrick sangat membantu kita. Sweet mengajukan
4 prinsip yang olehnya disingkat ke dalam akronim EPIC:
1.
Experiental (pengalaman);
2.
Participatory (partisipatif);
3.
Image-Driven (menonjolkan gambaran visual);
Sementara itu,
Riddell, Pierson, dan Kirkpatrick mengusulkan 8 prinsip:
1.
Partisipasi;
2.
Didasarkan
kepada komunitas;
3.
Relevan secara
kultural;
4.
Tidak ada
primadona;
5.
Menyentuh
keseluruhan eksistensi si penyembah (tubuh, pikiran, jiwa, dan roh);
6.
Bersedia
menggunakan beragam ide, materi, dan bentuk dari berbagai sumber;
7.
Penggunaan
multimedia;
8.
Terus
bertumbuh dan beradaptasi.[19]
Prinsip-prinsip aplikasi yang ditawarkan
oleh Sweet dan Riddell, Pierson, dan Kirkpatrick sebenarnya menekankan hal yang
sama:
1. Liturgi
di zaman post-modern diharapkan menggunakan lagu, aransemen musik, manipulasi
suasana (dengan pencahayaan dan penataan ruang ibadah), dan gaya kepemimpinan
pemimpin pujian yang lebih berfokus kepada pengalaman si penyembah dan respon
emosi daripada pengaruh secara intelektual.
2.
Partisipasi dan keterlibatan
aktif dari seluruh jemaat sangat ditekankan dalam liturgi yang post-modern. Setiap
jemaat, bukan hanya pemimpin pujian atau pemain musik harus diberikan ruang untuk
ikut berpartisipasi dalam ekspresi mereka masing-masing.
3.
Teknologi adalah bagian besar
dari zaman post-modern. Oleh sebab itu, liturgi yang post-modern juga
diharapkan untuk menggunakan teknologi yang maju dan modern.
4. Zaman
post-modern membawa semangat perubahan yang cepat. Tidak ada satu ide atau
konsep yang baku dalam zaman post-modern karena perkembangan informasi
menjadikan tren yang ada juga terus berubah. Dengan demikian, liturgi pujian
penyembahan yang post-modern juga harus menyediakan ruang bagi fleksibilitas.
Beberapa Hal yang Harus Diingat
1. Lakukan
adaptasi yang sesuai porsinya.
Liturgi yang
post-modern memang membawa kita untuk lebih condong kepada aspek emosi dari si
penyembah, namun ini bukan berarti bahwa pemberitaan Firman yang objektif jadi
diabaikan. Semangat liturgi yang hanya didasarkan kepada emosi tidak akan
bertahan lama. Tanpa menerima pengajaran Firman yang dibutuhkan untuk
mempertahankan semangat emosi itu, jemaat akhirnya terus berusaha mengulang
pengalaman rohani yang sama, lagi dan lagi, setiap minggu, sampai akhirnya mereka
akan kelelahan sendiri dan mulai kehilangan sukacita dalam ibadah.
Bryan D.
Spinks melalui bukunya “The Worship Mall”
memperingatkan kita bahwa semangat subjektivisme emosi dari penyembahan
post-modern bisa akhirnya menjebak kita untuk menyuguhkan liturgi yang terlalu
subjektif, dan akhirnya hanya bermakna bagi para pelayan yang merancangnya.[20]
Subjektivisme dalam liturgi pujian penyembahan post-modern haruslah didasarkan
kepada kebenaran yang objektif. Tujuan liturgi pujian penyembahan yang
post-modern bukanlah agar jemaat masing-masing bisa membentuk gambaran tentang
Allahnya sendiri, melainkan agar apa yang secara objektif dikatakan Alkitab,
dimaknai secara personal.
2. Adaptasi
liturgi hanya salah satu dari banyak cara revitalisasi gereja.
Pembaharuan
liturgi mungkin bisa menghidupkan penyembahan dalam gereja, tetapi ini bukan
berarti bahwa seluruh tugas revitalisasi gereja bergantung secara tunggal
kepada hal ini. Ada banyak aspek lain yang lebih krusial. Dalam pengalaman
pelayanannya sebagai pemimpin pujian. Greg Scheer banyak sekali bertemu dengan
pemimpin gereja yang berharap adaptasi kepada musik kontemporer sudah cukup untuk
merevitalisasi gereja mereka, sebagaimana kesaksiannya:
Beberapa
tahun lalu, saya diminta untuk membantu sebuah komite penyembahan dari sebuah
gereja besar yang sedang memikirkan untuk menambah sebuah ibadah baru dengan
musik kontemporer... Tambahan alat musik akan menekan para pemusik yang sudah
sangat penuh... Jika tujuan mereka adalah untuk menjangkau yang terhilang, aku
memberikan usulan, bukankah lebih masuk akal untuk menambah ibadah dengan
bahasa Spanyol mengingat banyaknya imigran Latin yang baru berdatangan di kota
itu? [21]
Akhir cerita,
Sheer mengungkapkan bahwa ibadah musik kontemporer mereka dibuat terburu-buru,
semua pemusiknya tidak siap, musik kontemporer mereka tidak benar-benar
kontemporer, dan ibadah yang setengah matang ini tidak berhasil merevitalisasi
gereja. Jemaat yang lama tidak menyukai ibadah kontemporer yang disuguhkan, dan
ibadah kontemporer ini malah akhirnya tidak mampu menarik jemaat yang baru.[22]
Kesaksian
Sheer ini mengingatkan kita bahwa proses adaptasi gereja tidak terbatas hanya
kepada aspek liturgi saja. Liturgi hanya salah satu bagian dari proses adaptasi
gereja. Menjadikan ibadah relevan bagi jemaat kontemporer memerlukan proses
yang integratif, di mana semua aspek gerejawi, bukan hanya liturgi, dimaknai
ulang dalam konteks kontemporer.
3. Gereja
harus terus beradaptasi.
Adaptasi kepada unsur zaman
kontemporer tidak boleh dilakukan hanya sebatas pada konteks post-modern saja.
Tongkat estafet harus terus diberikan dari generasi ke generasi. Sebagaimana
generasi modern menyerahkan tongkat kepemimpinan liturgi kepada generasi
post-modern, demikian pula generasi post-modern harus meneruskannya kepada
generasi berikutnya dan membiarkan generasi yang baru itu membentuk wajah
liturgi.
Gereja harus memiliki kemampuan
untuk melihat jauh ke depan dan melakukan prediksi akan perubahan-perubahan
budaya dan zaman yang harus diantisipasi. Salah satu contoh yang baik dari
usaha prediksi ke depan dilakukan oleh Robb Redman, yang melihat perubahan
demografi jumlah penduduk dan etnis mayoritas di Amerika Serikat sebagai
petunjuk dari proses adaptasi yang harus dilakukan gerejanya ke depan. Redman
mengambil data dari badan sensus penduduk Amerika Serikat yang mengatakan bahwa
di tahun 2050 akan ada penurunan dari populasi kulit putih sebesar 30% dan
kenaikan kelompok etnis yang lain sebesar 92%. Kulit hitam akan mengalami
peningkatan paling besar, kelompok hispanik ada di posisi kedua, dengan
kelompok Asia-Amerika menduduki posisi ketiga namun dengan tingkat pertumbuhan
yang paling signifikan. Melihat hal ini, Redman mengusulkan sebuah liturgi yang
lebih komunal, lebih tidak berwarna, dengan pesan khotbah yang lebih mengusung
persatuan dan kesamarataan. Menurutnya, perubahan-perubahan ini akan mampu
merangkul semua perubahan demografi etnis yang akan terjadi di depan.[23]
Kesimpulan
Gereja adalah institusi yang
dibangun di atas dasar Alkitab. Esensi alkitabiah ini tidak boleh berubah, tetapi
esensi ini harus diterjemahkan secara kontekstual kepada zaman kontemporer. Oleh
sebab itu, semangat zaman tidak boleh dilihat sebagai musuh yang merusak
kemurnian esensi ibadah, tetapi sebagai petunjuk akan arah adaptasi yang harus
dilakukan gereja ke depan agar ibadah bisa terus relevan dalam kehidupan
jemaat.
Berkenaan dengan liturgi di
zaman post-modern, kita melihat adanya pergeseran fokus dari objektivitas
kepada subjektititas. Jemaat di zaman post-modern merindukan, bukan hanya untuk
mengetahui kebenaran tentang Allah, namun merasakan kebenaran itu secara
langsung dan personal dalam pengalaman mereka. Hal ini mendorong beberapa perubahan
dalam liturgi: berbasis pengalaman, partisipatori secara komunal, penggunaan
teknologi yang mendorong imajinasi kreatif akan Allah, dan fleksibilitas.
Daftar Pustaka
Crouch, Andy. “Amplified Version: Worship Wars
Come Down to Music and a Power Plug.” In Worship at the Next Level: Insight from
Contemporary Voices, edited by Tim A.
Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.
Dean, Kenda Creasy. “Moshing for Jesus:
Adolescence as a Cultural Context for Worship.” In Worship at the Next Level: Insight from
Contemporary Voices, edited by Tim A.
Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.
Kroeker, Charlotte. The Sounds of Our
Offerings - Achieving Excellence in Church Music. Herndon: ALBAN, 2011.
Kuyper, Abraham. Our Worship. Edited by
Harry Boonstra. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2009.
Murray, John. “Song in Public Worship.” In Worship
in the Presence of God: A Collection of Essays on the Nature, Elements, and
Historic Views and Practice of Worship, edited by Frank J. Smith and David
Lachman. Greenville: Greenville Seminary Press, 1992.
Redman, Robb. The Great Worship Awakening?
Singing a New Song in the Postmodern Church. San Fransisco: Jossey-Bass, 2002.
Riddell, Mike, Mike Pierson, and Cathy
Kirkpatrick. “New Approaches to Worship.” In Worship at the Next Level: Insight from
Contemporary Voices, edited by Tim A.
Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.
Scheer, Greg. The Art of Worship: A
Musician’s Guide to Leading Modern Worship. Grand Rapids: Baker Books,
2006.
Smith, Frank J. “An Introduction to the Elements of Worship.” In Worship in the Presence of
God: A Collection of Essays on the Nature, Elements, and Historic Views and
Practice of Worship, edited by Frank J. Smith and David Lachman.
Greenville: Greenville Seminary Press, 1992.
Spinks, Bryan D. The Worship Mall:
Contemporary Responses to Contemporary Culture. London: SPCK, 2010.
Sweet, Leonard. “A New Reformation: Re-Creating
Worship for a Postmodern World.” In Worship at the Next Level: Insight from
Contemporary Voices, edited by Tim A.
Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.
Webber, Robert E. “The Crisis of Evangelical
Worship: Authentic Worship in a Changing World.” In Worship at the Next Level: Insight from
Contemporary Voices, edited by Tim A.
Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids: Baker Books, 2004.
White, James F. “What Do We Mean by ‘Christian
Worship’?” In Worship at the
Next Level: Insight from Contemporary Voices, edited by Tim A. Dearborn and Scott Coil. Grand Rapids:
Baker Books, 2004.
[1]. Abraham Kuyper, Our Worship, ed. Harry
Boonstra (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2009), 38.
[3]. Kuyper, Our Worship, 38; Untuk melihat
perdebatan yang terjadi antara Himne dan Mazmur lihat juga John Murray, “Song
in Public Worship,” in Worship in the Presence of God: A Collection of
Essays on the Nature, Elements, and Historic Views and Practice of Worship,
ed. Frank J. Smith and David Lachman (Greenville: Greenville Seminary Press,
1992), 182.
[4]. James F. White, “What Do We Mean by ‘Christian
Worship’?,” in Worship at the Next Level:
Insight From Contemporary Voices, ed. Tim A.
Dearborn and Scott Coil (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 28; Frank J. Smith,
“An Introduction to The Elements of Worship,” in Worship in the Presence of
God: A Collection of Essays on the Nature, Elements, and Historic Views and
Practice of Worship, ed. Frank J. Smith and David Lachman (Greenville:
Greenville Seminary Press, 1992), 133.
[5]. Andy
Crouch, “Amplified Version: Worship Wars Come Down to Music and a Power Plug,”
in Worship at The Next Level: Insight From Contemporary Voices, ed. Tim
A. Dearborn and Scott Coil (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 132.
[6]. Leonard Sweet, “A New Reformation: Re-Creating
Worship for a Postmodern World,” in Worship at the Next
Level: Insight From Contemporary Voices, ed. Tim A. Dearborn and Scott Coil (Grand Rapids: Baker Books,
2004), 103.
[7]. Greg Scheer, The Art of Worship: A Musician’s
Guide to Leading Modern Worship (Grand Rapids: Baker Books, 2006), 212;
Lihat juga Crouch, “Amplified Version: Worship Wars Come Down to Music and a
Power Plug,” 134.
[8]. Mike Riddell, Mike Pierson, and Cathy
Kirkpatrick, “New Approaches to Worship,” in Worship at The Next Level:
Insight From Contemporary Voices, ed. Tim A. Dearborn and Scott Coil (Grand
Rapids: Baker Books, 2004), 141.
[9]. Robb Redman, The Great Worship Awakening?
Singing a New Song in The Postmodern Church (San Fransisco: Jossey-Bass,
2002), 159.
[11]. Charlotte Kroeker, The Sounds of Our Offerings
- Achieving Excellence in Church Music (Herndon: ALBAN, 2011), 98.
[14]. Robert E. Webber,
“The Crisis of Evangelical Worship: Authentic Worship in a Changing World,” In
Worship at the
Next Level: Insight from
Contemporary Voices,
edited by Tim A. Dearborn and Scott Coil (Grand
Rapids: Baker Books, 2004), 99-100.
[15]. Kenda Creasy Dean, “Moshing for Jesus:
Adolescence as a Cultural Context for Worship,” in Worship at The Next
Level: Insight From Contemporary Voices, ed. Tim A. Dearborn and Scott Coil
(Grand Rapids: Baker Books, 2004), 118.
[20]. Bryan D. Spinks, The Worship Mall: Contemporary
Responses to Contemporary Culture (London: SPCK, 2010), 61.